Jakarta, Gatra.com - Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) akan mengajukan permohonan uji materi (judicial review) terhadap Undang-Undang (UU) tentang Kesehatan ke Mahkamah Konstitusi (RI). Hal itu menyusul pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan menjadi UU yang dilakukan oleh DPR RI, Selasa (11/7) kemarin.
"Kami dari IDI bersama empat organisasi profesi akan menyiapkan upaya hukum sebagai bagian tugas kami sebagai masyarakat yang taat hukum, untuk mengajukan judicial review melalui Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia," kata Ketua Umum PB IDI Adib Khumaidi, Rabu (12/7).
Adib menyebut, pengesahan RUU Kesehatan akan menjadi catatan kelam dalam sejarah dunia kesehatan di Indonesia. Pasalnya, IDI menilai proses penyusunan regulasi tersebut belum bisa mencerminkan adanya partisipasi yang bermakna, tidak memperhatikan aspirasi dari berbagai pihak, dan tidak transparan.
Adib mengatakan, kekurangan-kekurangan dalam proses penyusunannya itulah yang membuat UU itu cacat secara prosedural, sehingga menunjukkan kecacatan formil dalam pembentukannya. Tak hanya itu, penyusunan yang tak prosedural itu juga dianggap telah merusak nilai-nilai demokrasi dan konstitusi Indonesia.
Di samping itu, Adib juga menyoroti metode omnibus law yang dipakai dalam UU itu, dan menyebabkan dicabutnya sembilan UU lama terkait lingkup kesehatan dan organisasi profesi kesehatan, dan menggantinya dengan peraturan baru dalam kurun waktu yang sangat singkat, yakni enam bulan.
"Ini sesungguhnya di luar nalar kita semua. Walaupun metode omnibus law itu sah dalam pembuatan undang-undang, tapi kita melihat ketergesa-gesaan, keterburu-buruan ini juga menjadi sebuah cerminan bahwa regulasi ini dipercepat. Apakah kemudian ada konsekuensi karena kepentingan-kepentingan yang lain? Kami dari kelompok profesi tidak paham dengan hal seperti itu," tutur Adib.
Menurutnya, pengesahan tersebut masih mengundang tanda tanya besar, mengenai apakah UU Kesehatan itu dapat mencerminkan upaya perwujudan transformasi kesehatan dan keberpihakan atas kepentingan kesehatan masyarakat serta keberpihakan pada tenaga kesehatan dan tenaga medis dalam negeri.
"Apakah undang-undang ini sudah emenuhi rasa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Kemudahan akses, jaminan pembiayaan kesehatan. Hal ini tentunya masih tanda tanya bagi kita," ujar Adib.
Selain itu, Adib juga menggarisbawahi hilangnya mandatory spending di bidang kesehatan dalam UU itu. Hal itu membuat masyarakat kehilangan kepastian hukum untuk memperoleh jaminan pembiayaan kesehatan.
Dengan demikian, kata Adib, masyarakat akan dihadapkan dengan upaya pembangunan kesehatan yang cenderung akan dikedepankan melalui proses sumber-sumber pendanaan di luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
"Bukan tidak mungkin, [hal itu dilakukan] melalui pinjaman, privatisasi sektor kesehatan, kemudian komersialisasi dan bisnis kesehatan, yang ini akan mebawa sebuah konsekuensi tentang ketahan ksesehatan bangsa," sebut Adib.
Oleh karena itu, Adib mengimbau masyarakat untuk lebih memiliki kesadaran akan pengesahan RUU itu. Pasalnya, IDI menilai masih ada banyak substansi dalam RUU itu yang belum memenuhi kepentingan kesehatan masyarakat Indonesia.
IDI juga akan menggerakkan seluruh potensi yang ada di berbagai cabang wilayah untuk mengawasi implementasi dari UU Kesehatan, guna memastikan UU tersebut benar-benar dapat mencerminkan kepentingan kesehatan masyarakat.