Jakarta, Gatra.com - Sebetulnya tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan European Union Deforestation Regulation (EUDR) atau undang-undang deforestasi Uni Eropa itu.
Sebab cut off date atau batasan EUDR itu sudah jelas; lahan yang sudah tertanam hingga Desember 2020, tidak masuk kategori deforestasi.
Tinggal lagi kemudian, bagaimana agar legalitas lahan yang sudah tertanam itu dibikin jelas dan tanaman disertifikasi. Semua itu sudah diatur dalam ISPO dan MSPO.
Pengesahan EUDR oleh Parlemen Uni Eropa pada April lalu memang sempat membikin heboh. Semua produsen komoditi yang masuk list EUDR itu protes, tak terkecuali Indonesia dan Malaysia yang menjadi produsen terbesar sawit dunia.
Difasilitasi Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC), akhir Mei lalu, petinggi dua negara ini; Menteri Perkebunan dan Komoditas Malaysia, YAB Dato' Sri Haji Fadillah bin Haji Yusof dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, Airlangga Hartarto, mendatangi Brussel.
Di sana, produsen sawit terbesar ini tegas-tegasan bilang keberatan atas aturan main baru Uni Eropa itu, sebab tidak dilibatkan dalam penyusunan EUDR tadi.
Mumpung masih ada waktu 18 bulan untuk menyusun aturan pelaksana EUDR itu, dua negara ini pun mengusulkan dibikin engagement dialog antara UE dengan negara produsen.
UE melunak dan sepakat membentuk Joint Task Force (JTF) bersama Indonesia - Malaysia. Di JTF itu akan dibahas berbagai persoalan yang timbul akibat persyaratan EUDR yang harus dipenuhi oleh pihak eksportir. Salah satunya adalah aturan ketertelusuran.
Mendengar JTF ada, negara-negara kecil pengekspor sawit seperti Kolombia, pun merapat ke CPOPC. Mereka penasaran ingin mengetahui hasil yang akan dicapai di JTF itu.
"Pertemuan pertama JTF akan digelar pekan pertama bulan depan. Cocoa, kopi, karet dan kayu juga akan dibahas," ujar Sekretaris Jenderal CPOPC, Rizal Affandi Lukman, saat berbincang dengan Gatra.com, dua hari lalu.
Rizal kembali menyebut, sebenarnya EUDR enggak perlu dihebohkan. Terlebih, Indonesia sudah sejak lama melakukan moratorium perizinan lahan baru. Malaysia juga sama, sudah mortorium sejak 2019.
"Kalau dibilang EUDR itu enggak berdampak, ya berdampak. Tapi pengaruhnya enggak heboh-heboh amatlah. Perlu disikapi secara terukur dan membuktikan bahwa sertifikasi nasional yang sudah ada seperti ISPO dan MSPO sudah mengcover beberapa hal yang dipersyaratkan EUDR. Jangan terlalu disikapi berlebihan. Jangan gara-gara itu seolah dunia akan runtuh," pintanya.
Bekas Wakil Menteri Bidang Kerjasama Ekonomi Internasional di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia pun buka-bukaan kalau sebenarnya 93% ekspor sawit ke Uni Eropa sudah bersertifikat ISPO atau RSPO. Selebihnya sertifikat ISCC Jerman dan lainnya.
"Semua ekspor ke Eropa itu sudah bersertifikat. Jadi, enggak ada masalah. Sawit petani kan utamanya dipakai di dalam negeri, kalaupun di ekspor, paling ke negara-negara di Asia," ujarnya.
Abdul Aziz