Jakarta, Gatra.com - DPR RI secara resmi telah mengesahkan Rancangan Undang-undang tentang Kesehatan (Omnibus Law) menjadi Undang-undang (UU). Hal itu sebagaimana diputuskan dalam Rapat Paripurna ke-29 Masa Sidang V Tahun Sidang 2022-2023 di Kompleks Parlemen, Selasa (11/7).
Meski begitu, hanya enam dari sembilan fraksi partai politik di DPR yang menyetujui pengesahan itu. Dua di antaranya, yakni Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyatakan penolakan mereka, sedangkan satu lainnya yakni Partai NasDem menyatakan setuju dengan syarat mandatory spending diusulkan di angka minimal 10 persen dari APBN dan APBD.
1. Penolakan dari Partai Demokrat
Anggota DPR Fraksi Partai Demokrat, Dede Yusuf Macan Effendi mengatakan bahwa pihaknya menemukan ada masalah mendasar yang terdapat dalam pembahasan RUU tersebut. Salah satunya adalah mengenai mandatory spending.
"Fraksi Partai Demokrat dalam Rapat Panja telah mengusulkan dan memperjuangkan peningkatan anggaran kesehatan atau mandatory spending di luar gaji dan penerima bantuan iuran atau PBI, namun tidak disetujui, dan pemerintah justru lebih memilih mandatory spending kesehatan dihapuskan," ujar Dede Yusuf dalam rapat paripurna, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (11/7).
Partai Demokrat memandang, hal tersebut semakin menunjukkan kurangnya komitmen politik negara dalam menyiapkan kesehatan yang layak, merata, dan berkeadilan bagi seluruh lapisan masyarakat. Demokrat berpendapat, mandatory spending sektor kesehatan masih sangat diperlukan guna menjamin terpenuhinya pelayanan kesehatan masyarakat serta tercapainya tingkat indeks pembangunan manusia.
"Kedua, fraksi Partai Demokrat menyatakan ketidaksetujuan terhadap indikasi liberalisasi tenaga kesehatan dan tenaga medis asing yang sangat berlebihan," ujarnya.
Dede menegaskan bahwa fraksi Partai Demokrat tidak anti dengan kemajuan dan keterbukaan terhadap tenaga kerja asing. Namun demikian, menurut partai bernuansa biru itu, penting untuk mempertimbangkan kesiapan dan konsekuensi, seperti pembiayaan dan dampak dari langkah tersebut.
Menurut Dede, penting untuk tetap menerapkan prinsip bahwa seluruh dokter Indonesia, baik lulusan dalam negeri maupun luar negeri, harus diberikan pengakuan yang layak serta kesempatan yang setara dalam mengembangkan karir profesional di negara sendiri. Selain itu, menurutnya penting untuk memastikan bahwa dokter asing yang bekerja di Indonesia dapat tunduk dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Demokrat menilai, hal itu dapat membawa dampak positif bagi kemajuan sektor kesehatan di Tanah Air. Dede menambahkan, pihaknya memahami tujuan penggalakkan investasi di sektor kesehatan demi kemajuan ekonomi Indonesia. Namun, Demokrat menganggap, kebijakan kesehatan yang terlalu berorientasi pada investasi dan bisnis tak akan berbuah baik.
"Fraksi Partai Demokrat [juga] menilai bahwa selama proses penyusunan dan pembahasan RUU Kesehatan, kurang memberikan ruang dan waktu pembahasan yang cukup panjang, sehingga terkesan sangat terburu-buru. Jika ruang dan waktu dibuka lebih panjang lagi, kami meyakini RUU ini dapat lebih komprehensif, holistik, berbobot, dan berkualitas," ucap Dede.
2. Penolakan dari PKS
Anggota DPR Fraksi PKS, Netty Prasetiyani menjelaskan, pihaknya memandang RUU itu seharusnya mencakup seluruh perbaikan dalam sistem kesehatan di Indonesia. Namun demikian, PKS justru menilai proses penyusunan RUU Kesehatan merupakan bentuk preseden yang kurang baik bagi proses legislasi di masa mendatang.
Pasalnya, kata Netty, pembahasan RUU Kesehatan dinilai terlalu tergesa-gesa. Dengan demikian, partisipasi yang bermakna (meaningful participation) dari berbagai pihak yang seharusnya menjadi poin wajib dalam peyusunan itu pun tidak dapat tercapai. Tak hanya itu, PKS juga menyoroti penghapusan mandatory spending dalam sektor kesehatan pada UU itu.
"Ditiadakannya pengaturan alokasi wajib anggaran (mandatory spending) kesehatan dalam RUU Kesehatan merupakan sebuah kemunduran bagi upaya menjaga kesehatan masyarakat Indonesia," ujar Netty Prasetiyani dalam rapat paripurna, Selasa (11/7).
Fraksi PKS berpendapat, mandatory spending penting untuk menyediakan pembiayaan pelayanan kesehatan yang berkesinambungan dengan ketersediaan jumlah anggaran yang cukup. Dengan adanya mandatory spending, kata Netty, jaminan anggaran kesehatan dapat teralokasikan secara adil guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Di samping itu, PKS juga memandang UU Kesehatan berpotensi menghilangkan lapangan kerja bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan warga negara Indonesia (WNI). Potensi itu didasari oleh dua hal, yakni masuknya tenaga kerja asing dan hilangnya aturan yang memperbolehkan sebuah pekerjaan.
Sebagaimana diketahui, rencana pengesahan RUU Kesehatan kerap menuai kontroversi, bahkan di kalangan organisasi profesi tenaga kesehatan (nakes). Penolakan akan pengesahan pun terus dilakukan, karena pengesahan RUU itu dianggap terburu-buru. Mengingat, RUU inisiatif DPR RI itu baru saja dibahas tahun lalu.