Pekanbaru, Gatra.com - Ini kali pertama orang-orang berpakaian serba hitam merengkuh waktu banyak orang di halaman gedung Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Riau (UNRI) di kawasan Panam Pekanbaru, Riau, itu. Kampus ini sering juga disebut kampus Bina Widya.
Nyaris dua jam, dari lepas zuhur hingga matahari menggelinding menjemput sore. Mini teater bertajuk Sosah --- mencuci dalam bahasa Kampar, salah satu kabupaten di Riau --- yang dibawakan oleh Teater Selembayung itu, akhirnya berhasil membujuk bulir bening di mata sebahagian yang ada di sana, menetes; jatuh.
Rina si pembaca sajak berjudul Ibu, mampu mengimbangi peran Ica, seorang ibu yang sedang mencuci di sungai berbatu, yang menahan getir ulah pongah dua anaknya yang diperankan Sendy Alpagari dan Deni Palu.
Kegetiran tadi berpendar hingga ke relung jiwa orang-orang yang ada di sana, di bawah tenda sederhana di halaman gedung itu.
Sebab teater yang disutradarai oleh Fedli Azis ini, nampak piawai mempertontonkan keseharian yang sedang terjadi di Bumi Pertiwi.
Simaklah teriakan Sendy; Alang-alang kapalang tangguong, alang tukang maabiin kayu, alang codiok maancuan nagoghi.
Dan penggalan sajak Rina berjudul Ibu itu pun berbunyi begini;
Aku masih menyusuri lebuhraya lebammu. Memilah-milih keping sejarah yang tabayak dipucuk-pucuk bukit, lurah, lembah, rimba, semaksamun. Lalu melompat ke sungai, berenang ke muara menuju laut yang senantiasa menawar sunyi untuk kembali ke rumah kehangatan bibir pantai. Aku yang dibakar hamuk ingin menyulapnya jadi semesta baru. Mengulang gempita kuno dengan semangat zaman yang melaju tak tentu tuju.
Ibu, aku anak zaman yang kau belai dan susui penuh kasih. Maka akan kucintai hidup dan nestapa warisanmu itu dengan keriangan. Biar patah pekiklolong, biar binasa segala kemungkaran duniawi di kakimu yang lunglai.
Puncaknya, Fika, Deni dan Sendy kemudian mendendangkan lirik;
Sosah, sosah hatimu
Sosah, sosah jiwamu
Sosah, sosah pikirmu
Sosah lidahmu
Sosah tanganmu
Sosah kakimu
Sosah kepalamu
Basuh badanmu
Sucikan dirimu
Dari segala iri
Dari segala dengki
Khianat dan api dendam
Pagar dengan cinta dan kasih
Dan...berakhir sudah pertunjukan seni itu. Seni yang sengaja disuguhkan untuk menyambut guru besar yang baru di FISIP itu; Prof. Ali Yusri. Dia guru besar Ilmu Pemerintahan.
Adalah Ketua Senat FISIP UNRI, Prof Yusmar Yusuf dan Dekan FISIP UNRI, Dr. Meyzi Heriyanto yang menggagas tradisi baru penyambutan guru besar itu.
Selain dosen-dosen aktif, 10 orang dosen purna tugas juga ada di sana, merajut kembali silaturrahim yang sempat terputus berbilang tahun.
"Kami ingin memberi dan membasahi kampus dengan peristiwa serba cultured dan civilised. Penampilan-penampilan seni semacam ini, akan selalu menghiasi kegiatan-kegiatan rutin FISIP ke depan," kata Yusmar kepada Gatra.com, jelang sore tadi.
Guru besar sosiologi ini pun berujar panjang; Tradisi universitas dunia, harus mampu meletakkan posisi simbolik sains pada karier dan jenjang karier akademik tertinggi.
Profesor menjadi ranah yang berpembawaan imperatif dan DNA nya sebuah Universitas. Profesor dalam bahasa-bahasa dunia bisa bermakna "guru secara umum". Misal dalam tradisi Prancis, semua guru disapa sebagai "de la professeur".
Tapi ada hakekat lain dari dimensi Profesor itu sendiri: inayah "orang-orang arif dan bijak". Dia mustika kebijaksanaan. Mereka yang bersetia dengan "jalan sufi". Sehingga dalam idiom Prancis dikenal ungkapan seperti ini: "Je suis la professeur de l'academie de la vie" [Aku adalah profesor dalam akademik kehidupan].
Para Profesor yang meniti dan menetak sepanjang lorong "akademi kehidupan" itu boleh dialamatkan kepada Socrates, Plato, Aristoteles dan para bijak bestari, termasuk para sufi. Mereka tak terjebak dalam riuh rendah tikungan serba Scopus yang seakan-akan hari ini menjadi "Ayatullah" kebenaran sains lewat penerbitan yang seakan diperlombakan secara massif.
Padahal sejatinya membajak "kebijaksanaan" sufi itu sendiri.
Setiap inisiasi penyambutan ala party garden ini, akan tetap dihiasi dengan sejumlah cultural perfomance berkaidah dan berpaksi budaya Melayu sampai seni luhung dan progresif, termasuk Jazz.
Sebab dengan seni, kita menyapa dan mengusik akal budi akademik yang cenderung pongah dan merasa benar sepihak.
Lewat seni, kita menyandingkan "akal kemalaikatan" [angelic reason] sekaligus "cahaya kemalaikatan" [angelic light].
Maka kita undang kali pertama, teater pimpinan Fedli Azis dengan tajuk persembahan Sosah. Diambil dari kaidah tradisi Kampar.
Kaidah-kaidah luhung dan pesan moral dari "Sosah" itu, adalah cara seniman teater menghadirkan "kekuatan" orality [kelisanan] yang berpaksi [akar tunggang] dalam kehidupan kampung-kampung Melayu di hulu-hulu Sungai besar di Riau. Termasuk Hulu dan sepanjang sungai Kampar.
Hulu-hulu sungai besar di Riau itu adalah "Kingdom of Orality" yang teramat kemilau dan menawan. Termasuk fenomena keperkasaan "kawah candradimuka" era Buddhism Muara Takus.
Lantaran helat tadi penyambutan guru besar yang baru, Meyzi kemudian merinci bahwa sampai sekarang, sudah ada 6 guru besar di FISIP UNRI. Tiga guru besar sosiologi, guru besar Ilmu Pemerintahan, guru besar Administrasi Publik dan guru besar Administrasi Bisnis masing-masing satu.
"Saat ini ada tujuh dosen FISIP yang sedang proses guru besar, termasuk saya. Target kita, minimal harus ada 30% guru besar dari total dosen yang ada. Upaya yang kita lakukan untuk mencapai target itu antara lain; pemetaan dosen, mengaktifkan kelompok jabatan fungsional dosen, hibah penelitian dan pengabdian, bantuan publikasi dosen serta penyediaan ruang kerja bagi dosen," panjang lebar lelaki 47 tahun ini menjelaskan.
Di ujung acara penyambutan guru besar tadi, penandatangan kerjasa antara FISIP UNRI dengan Rumah Sakit Tengku Rafi'an Kabupaten Siak pun dilakukan.
Meyzi yang meneken kesepahaman bidang Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) itu dengan Direktur RS Tengku Rafi'an, Dr. Toni Chairuddin, Sp. An. M. Kes.
Abdul Aziz