Jakarta, Gatra.com - Seribu massa dari kalangan petani dan buruh melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) RI, Jakarta, pada hari ini, Kamis (6/7). Aksi unjuk rasa ini bertujuan mengawal sidang lanjutan ke-4 yang digelar MK terkait uji formil undang-undang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja menjadi undang-undang.
Gugatan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 itu diajukan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), dan 12 organisasi masyarakat sipil lainnya sebagai pihak pemohon. Adapun, agenda sidang hari ini di Gedung MK RI adalah mendengarkan keterangan dari DPR dan Presiden RI.
"Seyogyanya, sidang dengan agenda mendengarkan keterangan dari DPR dan Presiden RI diselenggarakan pada 21 Juni 2023 lalu. Namun sidang tersebut ditunda sebab DPR dan Presiden mangkir dari persidangan dengan alasan belum siap," kata Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika dalam keterangannya, Kamis (6/7).
Adapun, massa petani yang turun aksi merupakan gabungan organisasi tani Anggota Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang berasal dari Serikat Petani Pasundan (SPP), Serikat Tani Indramayu (STI), Pemersatu Petani Cianjur (PPC), Persatuan Petani Suryakencana Sukabumi (PPSS), Pergerakan Petani Banten (P2B), Serikat Tani Mencirim Bersatu (STMB) dan Serikat Perani Simalingkar Bersatu (SPSB).
Sementara itu, massa buruh yang turun dalam aksi massa tersebut merupakan serikat-serikat buruh Anggota Konfederasi KASBI yang berasal dari Jakarta, Banten dan Jawa Barat.
KPA dan Konfederasi KASBI pun menyoroti penerbitan Perppu Cipta Kerja yang mereka duga sebagai langkah untuk menyiasati Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 yang telah menyatakan UU tersebut Inkonstitusional Bersyarat. Mereka pun menganggap proses pengesahan itu cenderung senyap dan tak mengindahkan gelombang protes dari masyarakat.
"Setali tiga uang, proses pembahasan dan pengesahan perppu oleh DPR RI berlangsung senyap dan cepat dengan mengabaikan berbagai protes dan aksi gerakan rakyat, mengabaikan Putusan MK (Nomor) 91," imbuh Dewi.
Kebijakan UUCK Dinilai Kontra Reforma Agraria
Tak hanya itu, KPA dan Konfederasi KASBI juga menilai Undang-undang Cipta Kerja yang terus diberlakukan dalam dua tahun terakhir telah menyebabkan dampak buruk terhadap berbagai kelompok masyarakat. Utamanya, kaum buruh, petani, dan masyarakat miskin di pedesaan maupun perkotaan.
"Di bidang agraria, pangan dan lingkungan, telah terbukti bahwa UUCK adalah bentuk kejahatan konstitusional terhadap hak-hak petani dan masyarakat di pedesaan," kata Dewi.
Salah satunya adalah lahirnya Badan Bank Tanah (BBT) yang dinilai memperparah eskalasi konflik agraria dan menghambat pelaksanaan reforma agraria di lapangan. Pasalnya, kata Dewi, operasi pengadaan tanah lewat pemasangan patok penetapan lokasi obyek bank tanah oleh BBT dilakukan secara sepihak.
Cara kerja BBT pun dinilai mengabaikan kondisi eksisting di lapangan sehingga patok BBT berdiri di tanah-tanah masyarakat. Selain itu, KPA juga menganggap BBT telah menyelewengkan dan menghambat agenda reforma agraria.
Di samping itu, Undang-undang Cipta Kerja juga dinilai telah menyebabkan penggusuran dan perampasan tanah masyarakat atas nama Proyek Strategis Nasional (PSN). KPA memandang, besarnya pendanaan untuk PSN yang dibarengi berbagai aturan hukum demi kemudahan proses pengadaan tanah dalam undang-undang tersebut menunjukkan bahwa orientasi pembangunan pertanahan dan sumber daya alam (SDA) semakin liberal dan kuat disetir kepentingan oligarki.
KPA memandang, kondisi itu berbanding terbalik dengan minimnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) khusus untuk agenda prioritas Reformasi Agraria, dan sulitnya pemberian jaminan hak atas tanah untuk petani, buruh tani dan masyarakat adat.
"Prioritas tanah untuk PSN dan kelompok korporasi semakin meneguhkan bahwa Undang-undang Cipta Kerja adalah kebijakan kontra Reforma Agraria, sebab menyediakan legitimasi hukum untuk terjadinya proses-proses perampasan tanah di lapangan dengan dalih PSN," ujar Dewi.
Selain itu, undang-undang tersebut juga dipandang telah membuka lebar kebijakan impor pangan dan korporatisasi pangan, sehingga telah merugikan produksi pangan nasional dan memiskinkan petani.
Pengadaan tanah untuk kawasan ketahanan pangan dalam undang-undang itu dipandang telah membenturkan rakyat dengan TNI. Pasalnya, penyediaan stok pangan nasional tidak hanya disandarkan pada hasil impor atau pertanian pangan berbasis korporasi, tetapi juga pengerahan institusi militer lewat program ketahanan pangan.
Selain itu, KPA juga menggarisbawahi adanya kebijakan pengampunan (Forest Amnesty) bagi bisnis ilegal korporasi-korporasi di kawasan hutan. Kebijakan itu dianggap berbanding terbalik dengan proses pelepasan kawasan untuk kepentingan redistribusi tanah bagi rakyat.
Dampak buruk rupanya tak hanya tergambar dalam implementasi Undang-undang di sektor agraria. Ketua Umum Konfederasi KASBI Sunarno mengatakan, dampak buruk tersebut juga tercermin pada sektor buruh dan ketenagakerjaan.
"Sementara, di sektor perburuhan dan tenaga kerja, situasi tidak kalah suram dengan situasi agraria dan petani saat ini, Konfederasi KASBI mencatat beberapa dampak buruk yang harus ditanggung oleh buruh dan para pekerja akibat diberlakukannya Undang-undang ini," ujar Sunarno dalam keterangan yang sama.
Salah satunya adalah pertambahan ketentuan batas waktu maksimal dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang semula maksimal paling lama 3 tahun dengan 1 kali perpanjangan kontrak 2 tahun dengan tambahan maksimal 1 tahun dirubah menjadi maksimal 5 tahun. Hal ini dinilai membuat buruh semakin tidak memiliki jaminan kepastian kerjanya, alias sulit diangkat menjadi pekerja tetap.
Tak hanya itu, Konfederasi KASBI juga menyoroti adanya penghapusan pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dilakukan dengan alih daya (outsourcing) yang menyebabkan semua buruh yang bekerja di berbagai jenis pekerjaan dapat diperkerjakan dengan sistem outsourcing.
Selain itu, penghapusan variabel “kebutuhan hidup layak” dalam pertimbangan penetapan upah minimum sebagai rujukan penghitungan upah minimum yang berdampak bergesernya konsep perlindungan pengupahan secara luas dalam Undang-undang juga dianggap dapat mengakibatkan kenaikan upah tidak akan pernah mencapai kebutuhan hidup layak.
Ada pula potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi lebih mudah akibat dibukanya proses PHK hanya melalui pemberitahuan pengusaha kepada buruh tanpa didahului dengan perundingan. Hal itu dibarengi dengan terjadinya pengurangan hak pesangon buruh.
Konfederasi KASBI juga menilai, UU Cipta Kerja semakin mengurangi kontrol negara terhadap hubungan kerja. Hal ini dikarenakan banyaknya hal yang dikembalikan pada mekanisme kesepakatan para pihak, sehingga sangat merugikan pekerja karena ketimpangan antara pekerja dengan pengusaha membuat pekerja tidak memiliki posisi tawar yang cukup dalam perundingan.
"Tujuan UUCK adalah hendak menutupi sekaligus melanjutkan kejahatan-kejahatan di bidang agraria-kehutanan, perburuhan dan perbudakan modern yang diwariskan turun-temurun oleh Hindia Belanda, Orde Baru hingga oleh Orde Reformasi sekarang ini," ujar Sunarno.
KPA dan KASBI memandang, orientasi model pembangunan yang didorong Undang-undang Cipta Kerja adalah pembangunan yang menempatkan petani, buruh dan kekayaan agraria-hutan sebagai obyek eksploitasi oligarki. Mereka khawatir, apabila undang-undang tersebut tak dicabut, maka akan terjadi pemiskinan struktural rakyat di pedesaan dan perkotaan.
"Sebab, monopoli penguasaan tanah dan kerusakan alam oleh oligarki; ploletarisasi petani dan masyarakat agraris menjadi buruh; hilangnya kedaulatan bangsa atas sumber- sumber agraria; urbanisasi ke kota dan luar negeri, TKI atau TKW, dari desa-desa, serta sistem kerja upah murah adalah syarat utama suksesnya model pembangunan yang dikandung Undang-undang Cipta Kerja," tandas Sunarno.