Jakarta, Gatra.com - Seribu massa aksi petani dan buruh akan melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), pada Kamis (6/7) besok. Aksi unjuk rasa itu dilakukan untuk mengawal Sidang Lanjutan Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
"Kami juga menyerukan kepada seluruh elemen rakyat di Jakarta dan berbagai daerah agar bergabung bersama barisan kaum tani dan buruh menuntut pencabutan UU Cipta Kerja dan penegakkan mandat konstitusi atas hak-hak asasi warga negara dan pengelolaan sumber-sumber agraria nasional yang berkeadilan dan berkelanjutan," ujar Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika, dalam keterangannya, Rabu (5/7).
Adapun, massa petani yang akan turun aksi merupakan gabungan dari anggota organisasi tani KPA yang berasal dari Serikat Petani Pasundan (SPP), Serikat Tani Indramayu (STI), dan Pemersatu Petani Cianjur (PPC), serta Persatuan Petani Suryakencana Sukabumi (PPSS) dan Pergerakan Petani Banten (P2B).
Sementara itu, massa buruh yang akan turun dalam aksi massa tersebut adalah massa dari serikat buruh anggota Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) yang berasal dari Jakarta, Banten, Jawa Barat.
KPA dan Konfederasi KASBI pun menyoroti penerbitan Perppu Cipta Kerja yang mereka duga sebagai langkah untuk menyiasati Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 yang telah menyatakan UU tersebut Inkonstitusional Bersyarat.
Mereka pun menilai proses pengesahaan Perppu tersebut di DPR terkesan kucing-kucingan dan senyap tanpa mengindahkan berbagai protes rakyat melalui gelombang aksi pada periode Januari-Maret 2023.
"Kali ini, DPR dan Presiden kembali mencoba menghindar dari protes dan gugatan rakyat atas pemaksaan pengesahan UU kontroversial tersebut," ujar Dewi.
"Seyogyanya, sidang ini diselenggarakan pada tanggal 21 Juni 2023 untuk mendengarkan keterangan kedua lembaga tertinggi negara tersebut. Namun ditunda, sebab DPR dan Presiden mangkir dari persidangan dengan alasan belum siap. Pada tanggal 6 juli 2023 akan dilanjutkan sidang MK," imbuhnya.
Sebagaimana diketahui, KPA dan Konfederasi KASBI bersama Komite Pembela Hak Konstitusional (Kepal) yang terdiri dari 14 organisasi masyarakat sipil telah mengajukan Judicial Review (JR) Formil terhadap UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja di MK.
Para penggugat menilai, pemaksaan implementasi UU Cipta Kerja telah melahirkan berbagai dampak buruk di lapangan. Menurut mereka, dampak itu dapat terasa hingga ke kehidupan petani di wilayah pedesaan maupun kehidupan buruh.
"Di sektor agraria, KPA mencatat berbagai implementasi kebijakan turunan UU Cipta Kerja semakin memperburuk keadaan, petani, nelayan dan masyarakat adat," ujar Dewi.
Salah satu dampak buruk itu adalah lahirnya Lembaga Bank Tanah sebagai produk turunan dari UU Cipta Kerja yang dinilai telah meningkatkan eskalasi konflik agraria di lapangan. KPA memandang, operasi pengadaan tanah oleh bank tanah dengan cara mematok-matok tanah masyarakat telah menyebabkan keresahan di kalangan petani dan menyebabkan konflik agraria di berbagai wilayah sebab, proses penetapan lokasi dilakukan secara sepihak tanpa melihat kondisi eksisting di lapangan.
Tak hanya itu, keberadaan Lembaga Bank Tanah juga dinilai menghambat agenda reforma agraria. Pasalnya, keberadaan lembaga tersebut dianggap berpotensi besar menghambat atau menyelewengkan agenda reforma agraria yang diklaim pemerintah sebagai salah satu agenda prioritas mereka.
Selain itu, KPA juga melihat adanya potensi peningkatan ancaman penggusuran dan perampasan tanah atas nama Proyek Strategis Nasional (PSN), serta munculnya ancaman kedaulatan dan kehidupan petani atas kemudahan importasi pangan.
Tak hanya itu, KPA juga menyoroti potensi akan semakin masifnya korporatisasi pangan dan peminggiran petani melalui Food Estate. Di mana, pemerintah justru menyerahkan urusan penyediaan pangan nasional kepada korporasi-korporasi besar dibandingkan petani. Di samping itu, pengadaan tanah untuk Kawasan Ketahanan Pangan pun disebut merugikan petani pangan.
KPA juga menggarisbawahi adanya kebijakan pengampunan (Forest Amnesty) bagi bisnis ilegal korporasi-korporasi di kawasan hutan. Kebijakan itu dianggap berbanding terbalik dengan proses pelepasan kawasan untuk kepentingan redistribusi tanah bagi rakyat.
Dampak buruk rupanya tak hanya tergambar dalam implementasi Undang-undang di sektor agraria. Ketua Umum Konfederasi KASBI Sunarno mengatakan, dampak buruk tersebut juga tercermin pada sektor buruh dan ketenagakerjaan.
"Sementara di sektor perburuhan dan tenaga kerja, situasi tidak kalah suram dengan situasi agraria dan petani saat ini. Konfederasi KASBI mencatat beberapa dampak buruk yang harus ditanggung oleh buruh dan para pekerja akibat diberlakukannya UU ini," ujar Sunarno dalam keterangan yang sama.
Salah satunya adalah pertambahan ketentuan batas waktu maksimal dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang semula maksimal paling lama 3 tahun dengan 1 kali perpanjangan kontrak 2 tahun dengan tambahan maksimal 1 tahun diubah menjadi maksimal 5 tahun. Hal ini dinilai membuat buruh semakin tidak memiliki jaminan kepastian kerjanya, alias sulit diangkat menjadi pekerja tetap.
Tak hanya itu, Konfederasi KASBI juga menyoroti adanya penghapusan pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dilakukan dengan alih daya (outsourcing) yang menyebabkan semua buruh yang bekerja di berbagai jenis pekerjaan dapat diperkerjakan dengan sistem outsourcing.
Selain itu, penghapusan variabel “kebutuhan hidup layak” dalam pertimbangan penetapan upah minimum sebagai rujukan penghitungan upah minimum yang berdampak bergesernya konsep perlindungan pengupahan secara luas dalam Undang-undang juga dianggap dapat mengakibatkan kenaikan upah tidak akan pernah mencapai kebutuhan hidup layak.
Ada pula potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi lebih mudah akibat dibukanya proses PHK hanya melalui pemberitahuan pengusaha kepada buruh tanpa didahului dengan perundingan. Hal itu dibarengi dengan terjadinya pengurangan hak pesangon buruh.
Konfederasi KASBI juga menilai, UU Cipta Kerja semakin mengurangi kontrol Negara terhadap hubungan kerja. Hal ini dikarenakan banyaknya hal yang dikembalikan pada mekanisme kesepakatan para pihak, sehingga sangat merugikan pekerja karena ketimpangan antara pekerja dengan pengusaha membuat pekerja tidak memiliki posisi tawar yang cukup dalam perundingan.
Sunarno menyebut UU Cipta Kerja sebagai bentuk penghianatan pemerintah terhadap konstitusi yang telah menjamin hak-hak warga negara secara berkeadilan. Hal itu, katanya, apabila undang-undang tersebut dipandang dari sisi kebijakan.
"Liberalisasi kebijakan yang dilakukan secara ugal-ugalan ini telah mencerabut hak asasi warga negara dan kedaulatan rakyat atas kekayaan agrarian nasional yang telah dijamin konstitusi," kata Sunarno.
"Sebab itu, kami meminta Mahkamah Konstitusi untuk dapat melahirkan putusan yang konstitusional dan berkeadilan bagi rakyat," pungkasnya.