Jakarta, Gatra.com - Penghapusan kewajiban pemerintah untuk mengalokasikan anggaran kesehatan sebesar minimal 5 persen dari total APBN atau disebut juga mandatory spending ini membuat masyarakat khawatir dan menolak RUU Omnibus Law Kesehatan. Presiden Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI), Febrian Rizky Arilya mengatakan, pencapaian target mandatory spending oleh pemerintah selama ini belum maksimal.
"Dalam sepuluh tahun pemerintahan Bapak Joko Widodo, baru tiga tahun terakhir ini ada mandatory spending di kesehatan, itu pun pas Covid,” ucap Febrian dalam Konferensi Pers Bersama yang diadakan AOMKI dan IYCTC yang menolak RUU Omnibus Law Kesehatan melalui daring pada Rabu (05/7).
Menurutnya, pencapaian pemerintah dalam tiga tahun terakhir tidak bisa dianggap kalau pemerintah sudah menjalankan tugasnya dengan baik. Hal ini pun sempat disinggung langsung oleh Presiden Jokowi pada Rapat Koordinasi Nasional Pengawasan Intern Pemerintah pada Rabu (14/6) lalu. Pada saat itu, Presiden Jokowi menyampaikan kekesalannya ketika tahu anggaran stunting yang mencapai Rp 10 miliar, hanya Rp 2 miliar yang digunakan untuk membeli telur dan daging. Sisanya, dipakai untuk rapat dan perjalanan dinas.
"Bayangin ini (mandatory spending) udah gak ada lagi anggarannya. Akhirnya, uang cuma habis buat rapat doang. Ini kan gak mungkin mau kita terusin," ucap Febrian lagi.
Besarnya anggaran dinilai tidak menggambarkan fasilitas kesehatan yang ada di Indonesia, terutama di daerah. Dengan fasilitas yang minim, pelayanan kesehatan yang bisa dilakukan tentu juga tidak bisa maksimal.
"Bahkan akreditasi rumah sakit yang A, kalau bapak ibu mau tahu, dari total 300 lebih kota dan kabupaten, itu hanya 69 yang akreditasinya A," kata Febrian lagi.
Oleh sebab itu, ia dan organisasi mahasiswa kesehatan lainnya terus menyuarakan penolakan terhadap RUU Omnibus Law Kesehatan. Terutama, karena draft perencanaannya belum terbuka untuk publik sehingga masyarakat tidak bisa memeriksa apakah suara-suara mereka sudah direpresentasikan dengan baik.