Home Lingkungan Berawal Dari Riset Akademik dan Entah Kemana Masa Depan EBT Yogyakarta

Berawal Dari Riset Akademik dan Entah Kemana Masa Depan EBT Yogyakarta

Gunungkidul,Gatra.com – Sempat menjadi harapan akan masa depan pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) di Daerah Istimewa Yogyakarta. Proyek sistem pompa air tenaga surya (Solar Water Pumping System) di Gunungkidul terhenti berfungsi setelah sedekade beroperasi sejak 2009 silam.

Berada di Dusun Banyumeneng I, Desa Giriharjo, Kecamatan Panggang, proyek ini merupakan gagasan dosen Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) Ahmad Agus Setiawan.

Ide yang disusun sejak 2007 ini menjadi pemenang Mondialogo Engineering Award yang diselenggarakan UNESCO bersama Daimler dan mendapatkan pembiayaan hingga terwujud di 2009.

Baca juga:  Komitmen Hijau Pantai Pasangkayu

Dalam sistem kerjanya, proyek ini memanfaatkan sinar matahari yang ditangkap panel surya untuk kemudian dijadikan energi listrik guna menghidupkan pompa untuk menyedot air sungai bawah tanah yang muncul ke permukaan, Kali Gede.

Hingga 2019, proyek ini mampu menyuplai kebutuhan air bagi 120-an KK di Dusun Banyumeneng I yang terbagi dalam enam RT. Saat itu, karena debit masih terbatas, konsep yang ditawarkan adalah menampung air dalam tandon besar untuk digunakan beberapa keluarga.

“Terakhir terdapat sebanyak 17 kelompok yang masing-masing terdiri dari 5-10 KK. Meski membantu, namun dulu untuk memenuhi kebutuhan total akan air bersih, warga masih menambah dengan membeli dari tangki,” kata Hamid Ridlo petugas operator lapangan PAMSIMAS ‘Tirta Surya Mandiri’ Banyumeneng I kepada Gatra.com, Sabtu (1/7).

Berada di atas bukit tertinggi di wilayah Banyumeneng I, sebanyak tujuh bidang panel surya yang terpasang dengan daya hingga 8.000 Watt Peak (WP) kemudian disalurkan ke pompa yang ada di Kali Gede berjarak 800 meter. Dari sini air kemudian dialirkan ke pemukiman yang berjarak 1,3 Km. Saat itu, sistem operasional pompa ini diorganisir lewat Organisasi Pengelola Air Kaligede (OPAKg).

Baca juga:  DFW: PP 26 Tahun 2023 untuk Bersihkan Laut Tak Masuk Akal

Saat meninjau bersama Hamid, panel-panel surya ini sudah tidak berfungsi lagi. Ini terlihat dari banyaknya kabel yang tidak terkoneksi dengan konektor. Bahkan hari itu, Hamid harus mencari stabilizer daya yang saat peninjauan sebulan sebelumnya masih terpasang.

“Kendala utama pengoperasian pompa tenaga surya ini lamanya waktu perbaikan jika terjadi kerusakan. Jika ada satu piranti di system panel surya rusak, maka perbaikan harus dilakukan di Jakarta atau Surabaya yang memakan waktu lima sampai delapan bulan,” lanjut Hamid.

Meski tidak mengeluarkan biaya, karena masih ditanggung oleh pemberi hibah. Namun lamanya waktu perbaikan berdampak tidak adanya pemenuhan air bersih. Bukan hanya itu, rentang waktu kerusakan piranti satu ke piranti lainnya yang sangat berdekatan membuat pengurus OPAKg patah semangat untuk melanjutkan.

Instalasi ini menurut Hamid benar-benar berhenti, ketika satu-satunya pompa yang digunakan rusak dan harus diganti baru. Padahal harga pompa itu mencapai Rp60 juta dan keuangan OPAKg tidak mencukupi.

Saat ini melalui PAMSIMAS ‘Tirta Surya Mandiri’, kebutuhan air masih tetap diambilkan dari Kali Gede dengan mengoperasikan pompa air yang menggunakan listrik PLN selama 24 jam penuh.

Keberadaan pompa air tenaga surya hasil kerja dari Komunitas Mahasiswa Sentra Energi (Kamase) Fakultas Teknik UGM yang diinisiasi Ahmad Agus Setiawan. Saat itu, Ahmad baru menyelesaikan pendidikan Curtin University, Walei menyabet penghargaan bergengsi Mondialogo Engineering Award yang diselenggarakan oleh UNESCO bersama Daimler. Pada 2009 karyanya tersebut diterapkan melalui skema Kuliah Kerja Nyata UGM.

Di 2011, UGM bekerja sama dengan Universitas Dharma Persada dalam SEADI Project untuk menambah daya panel surya guna meningkatkan debit air yang disalurkan. Saat itu, panel surya telah menghasilkan daya 1.200 WP.

Tiga tahun kemudian, di 2014 UGM bersama Energi Bersih Indonesia (EnerBI) Alstom Foundation ikut berpartisipasi hingga puncaknya panel surya ini mampu menghasilkan daya sebesar 8.000 WP.

Baca juga:  One Day for Change, Tanam Bakau Cegah Kerusakan Lingkungan dan Serap Karbon

Melihat kondisi ini, Hamid sebenarnya trenyuh dan kecewa karena proyek bernilai miliaran rupiah ini tidak berfungsi dan terancam mangkrak. Dirinya hanya berharap bisa memanfaatkan panel-panel surya yang masih terpasang digunakan untuk fungsi yang lain dan berada dekat pemukiman warga.

Masa depan akan EBT di Yogyakarta juga masih menjadi tanda tanya bagi Direksi Operasional Gepo Energy Maulana Istar. Gepo Energy adalah usaha rintisan yang digagas mahasiswa UGM yakni Maulana bersama empat kawannya dan focus pada pembuatan genting yang ditambahkan panel surya (Genting photovoltaic).

“Saat ini tim terus memperbaiki prototype genteng panel surya agar bisa segera dipasarkan, targetnya tahun depan. Selain menyasar konsumen menengah ke atas, sasaran kami adalah desa-desa mandiri energy,” jelasnya saat ditemui Gatra.com di Teknik Kimia, Fakultas Teknis UGM.

Kebimbangan Maulana dan timnya akan masa depan produknya adalah pada kebijakan pemerintah yang masih melakukan pembatasan penggunaan panel surya sebagai sumber utama listrik rumah.

Meski memiliki masa depan cerah, jika kebijakan tidak memihak, menurutnya produk yang dihasilkan tidak akan bisa menemukan pasar yang luas. “Aturan pemanfaatan EBT di Indonesia masih simpang siur, karena berhubungan dengan pasokan energy dari Perusahaan Listrik Negara (PLN). Tak hanya itu, belum adanya material utama yang diproduksi di dalam negeri, membuat harga masih tinggi,” kata Maulana yang tengah duduk di semester empat Jurusan Teknik Elektro.

Genting photovoltaic ini pada 2022 masuk sebagai Top 3 kompetisi Pertamuda Seed and Scale yang diselenggarakan PT Pertamina dan berhak akan pendanaan senilai Rp100 juta.

Gatra.com kemudian menghubungi dosen Ahmad Agus Setiawan yang sejak 2019 lalu menjabat sebagai Deputi I Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Energi dan Infrastruktur Kantor Staf Presiden Joko Widodo.

Melalui sambungan telepon, Agus mengatakan sejak dulu Yogyakarta dikenal sebagai pioneer dalam penelitian dan pengembangan EBT. Pasalnya semua potensi EBT mulai dari surya, air, angin dan biomassa semua dimiliki Yogyakarta.

“Semua penelitian bermula dari Yogyakarta, termasuk konsep awal kincir angin besar yang sekarang dikembangkan di Sidrap, Sulawesi Selatan. Dulu penelitian awalnya di daerah Bantul selatan, Samas sampai Pandansimo yang diresmikan Presiden,” jelasnya.

Menurutnya ada banyak faktor kenapa hasil kajian EBT yang dinilai potensial untuk dikembangkan lebih besar tidak terealisasi di Yogyakarta. Dirinya menceritakan, sisi pesisir Bantul selatan memiliki potensi angin yang besar.

Baca juga:  Kenangan Brands Fokus Jadi Perusahaan F&B Berkelanjutan di Tahun 2030

Tetapi sisi-sisi yang lain, semisal isu perekonomian dan lain sebagainya membuat kajian itu tidak pernah terealisasikan di Yogyakarta. Menurutnya sekarang inilah, saatnya semua pemangku kepentingan yang peduli dengan keberlangsungan energy untuk Yogyakarta bekerja sama. Semua harus mengambil peran, karena nantinya kebijakan pemanfaatan EBT akan diturunkan ke tingkat daerah yang lebih paling kecil.

Pemangku kepentingan diharuskan cerdas dalam memanfaatkan teknologi dan finansial yang tersedia. “Sebagai daerah yang mengimpor energy listrik dan migas dari daerah lain, yaitu Jawa Tengah. Yogyakarta rawan krisis energy jika terjadi sesuatu hal yang membahayakan. Pemanfaatan EBT, meski bersifat lokal harus terus dikembangkan,” jelasnya.

Agus kemudian bercerita mengenai pompa air tenaga surya di Banyumeneng I yang merupakan awalnya merupakan konsep penelitiannya doktornya dulu. Menurutnya, usai diluncurkan pada 2009, proyek itu kemudian diteruskan oleh mahasiswa-mahasiswanya untuk menjadi program pemberdayaan pemuda.

417