Home Hukum Kanit PPA Bareskrim Polri Sebut Ada Potensi Penyiksaan Seksual dalam Proses Penegakan Hukum

Kanit PPA Bareskrim Polri Sebut Ada Potensi Penyiksaan Seksual dalam Proses Penegakan Hukum

Jakarta, Gatra.com - Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Badan Reserse Kriminal (Kanit PPA Bareskrim) Polri AKBP Ema Rahmawati memandang, ada potensi penyiksaan seksual yang dapat terjadi dalam proses penegakan hukum di internal kepolisian. Hal itu dikatakannya, berdasarkan Pasal 11 Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Adapun, dalam pasal tersebut berbunyi:

Setiap pejabat atau orang yang bertindak dalam kapasitas sebagai pejabat resmi, atau orang yang bertindak karena digerakkan atau sepengetahuan pejabat melakukan kekerasan seksual terhadap orang dengan tujuan:

a. intimidasi untuk memperoleh informasi atau pengakuan dari orang tersebut atau pihak ketiga;

b. persekusi atau memberikan hukuman terhadap perbuatan yang telah dicurigai atau dilakukannya; dan/atau

c. mempermalukan atau merendahkan martabat atas alasan diskriminasi dan/ atau seksual dalam segala bentuknya, dipidana karena penyiksaan seksual, dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah).

"Potensi penyiksaan seksual, kalau dilihat dari bunyi undang-undangnya, kalau disebut itu pejabat atau seseorang yang atas nama pejabat, apalagi di dalam poin A dan B tadi [ada] intimidasi, persekusi dalam meminta keterangan, kami menganalogikan atau memahami bahwa di dalam lingkungan Polri sendiri, itu potensinya ada di dalam proses penegakan hukum," ujar Ema Rahmawati dalam acara diskusi yang ditayangkan di kanal YouTube Komnas Perempuan, Selasa (27/6).

Menurut Ema, potensi akan adanya penyiksaan seksual dalam proses penegakan hukum dapat terjadi mulai penyelidikan. Ia menyebut, potensi itu berkaitan dengan adanya upaya paksa dalam proses penegakan hukum tersebut.

"Di dalam proses penegakan hukum di kepolisian, yang dilakukan oleh kepolisian, mulai dari penyelidikan, kemudian penyidikan, itu ada upaya paksa yang memang berpotensi bahwa memang penyiksaan seksual itu terjadi, seperti ada intimidasi, ada persekusi, dan lain-lain," jelasnya.

Dalam catatan Ema, potensi penyiksaan seksual di lingkungan Polri dapat terjadi, baik pada proses pemeriksaan, penangkapan, penggeledahan, ataupun penahanan. Potensi semacam itu, katanya, lebih cenderung dapat dilakukan oleh penyelidik ataupun penyidik Polri.

Namun demikian, menurut Ema, Polri telah memiliki serangkaian aturan yang berlaku di internal, guna mencegah terjadinya penyiksaan dalam pelaksanaan tugas kepolisian. Beberapa di antaranya adalah Peraturan Kapolri (Perkap) nomor 10 tahun 2007 tentang Organisasi dan Tatanan Kerja Unit PPA di lingkungan Polri, ataupun Perkap nomor 3 tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana.

Tak hanya itu, ada pula Perkap nomor 10 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri, Perkap Nomor 6 tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, Peraturan Kepala Badan Reserse Kriminal (Perkaba) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Standar Operasional Prosedur Pelaksanaan Penyidikan, serta Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri.

Kebijakan-kebijakan itu secara garis besar mengatur cakupan HAM yang menjadi tugas dalam kepolisian, yang salah satunya adalah memastikan terpenuhinya hak bagi wanita dan anak.

Selain itu, kebijakan itu juga mengatur agar anggota kepolisian tidak menghasut atau menoleransi tindak penyiksaan atau menjadikan perintah atasan sebagai pembenaran untuk melakukan penyiksaan. Anggota Polri dalam melakukan penyidikan pun telah dilarang untuk melakukan intimidasi, ancaman, siksaan fisik, psikis ataupun seksual untuk mendapatkan informasi, keterangan atau pengakuan.

Ema mengatakan, anggota Polri yang telah melakukan tindak pidana harus menjalani sanksi dua kali lipat. Pasalnya, anggota Polri tersebut harus menjalani sanksi pidana umum, yang biasanya berupa pemenjaraan dan/atau denda, sekaligus sanksi atas pelanggaran kode etik di internal Polri berupa sanksi etik ataupun sanksi administratif.

571