Jakarta, Gatra.com – Setara Institute meminta pemerintah melakukan investigasi komprehensif, termasuk soal dugaan keterlibatan oknum intelijen dan militer membekingi Pondok Pesantren (Ponpes) Al Zaytun sebagaimana ramai dibicarakan publik.
“Eksistensi Al Zaytun yang kokoh hingga kini juga banyak dikaitkan oleh publik dengan 'bekingan' intelijen dan militer,” ujar Halili Hasan, Direktur Eksekutif Setara Institute dalam keterangan pers diterima pada Senin (26/6).
Berdasarkan studi Human Security dan Security Sector Reform, lanjut dia, Setara Institute mencatat bahwa pada Pemilu 2024 pihak militer diduga melakukan mobilisasi massa guna melakukan pencoblosan di Kompleks Ponpes Al Zaytun.
“Dalam konteks itu, investigasi yang komprehensif akan menjamin terpenuhinya hak publik untuk mengetahui dan mendapat kebenaran (right to know and to truth),” ujarnya.
Setara Institute berpandangan bahwa langkah apapun yang akan diambil oleh pemerintah harus berdasarkan bukti-bukti faktual dan berlandaskan pada hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Respons Pemerintah seyogianya diorientasikan pada pengungkapan kebenaran, perlindungan keamanan warga negara dan negara, serta penegakan hukum,” ujarnuya.
Investigasi yang bersifat komprehensif tersebut bukan sekedar reaktif-populis, mendesak untuk dilakukan. Sebab, polemik Al Zaytun cukup lama dan berulang, sejak Ponpes itu berdiri pada 1994 di atas lahan sangat luas sekitar 1.200 hektare yang disebut oleh sebuah media asing sebagai the largest Islamic madrasah in Southeast Asia.
“Sudah cukup banyak pandangan dan kajian yang memberikan sinyalemen awal keterkaitan Al Zaytun dengan Negara Islam Indonesia (NII),” katanya.
Selain itu, Setara Institue meminta pemerintah harus bertindak adil. Pintu masuk yang paling strategis untuk mewujudkan keadilan dalam polemik Al Zaytun adalah berkenaan dengan afiliasi pimpinan dan sistem Al Zaytun dengan NII.
Selain dugaan afiliasi dengan NII, kata Halili, juga dugaan sejumlah pelanggaran pidana yang dilakukan oleh entitas di dalam Al Zaytun, baik oleh individu maupun badan Al Zaytun sebagai lembaga pendidikan. Tindakan negara tidak boleh sekadar untuk memenuhi keinginan dan tuntutan massa.
Setara Institute meminta pemerintah hendaknya tidak masuk terlalu dalam pada polemik sesat tidak sesatnya pandangan dan ajaran keagamaan yang dikembangkan di sana dan kemungkinan mengambil langkah populis yang berangkat dari penghukuman sesat tersebut.
“Mengenai sesat tidaknya pandangan dan ajaran keagamaan, biarlah menjadi domain perdebatan tokoh-tokoh dan lembaga-lembaga keagamaan terkait,” katanya.
Halili menyampaikan, sebagaimana dalam kasus-kasus berdimensi keagamaan lainnya, pemerintah tidak boleh meletakkan hukum negara di bawah pandangan dan fatwa lembaga keagamaan tertentu.
Peneliti Senior Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, menambahkan, pihaknya mengingatkan bahwa polemik Al Zaytun juga berkenaan dengan hak-hak atas pendidikan serta hak-hak atas perlindungan diri, integritas, dan keamanan warga negara di dalamnya, terutama 7000-an santri dan peserta didik di sana.
“Mitigasi dampak dan asesmen kebutuhan harus dilakukan oleh pemerintah, bersamaan dengan investigasi komprehensif dan adil tersebut,” ujarnya.
Setara Institute menyampaikan pernyataan tersebut menyikapi polemik terbaru Pondok Pesantren (Ponpes) Al Zaytun telah menyita perhatian pemerintah dan publik. Menkopolhukam Mahfud MD pun melakukan rapat terbatas (Ratas) dengan Gubernur Jawa Barat (Jabar), Ridwan Kamil pada Kamis pekan kemarin (24/6).
Sebelumnya, Kementerian Agama (Kemenag), melalui keterangan juru bicaranya, Anna Hasbie, mengatakan, pihaknya akan membekukan nomor statistik dan tanda daftar pesantren, termasuk izin madrasah jika Al Zaytun melakukan pelanggaran berat dan menyebarkan paham keagamaan yang diduga sesat.