Yogyakarta, Gatra.com - Pemerintah menunda penerapan larangan ekspor konsentrat untuk PT Freeport. Alhasil, perusahaan itu bisa mengekspor hingga Mei 2024 mendatang yang semestinya mulai dilarang pada Juni ini.
Pakar ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi pun menilai nyali Presiden Joko Widodo ciut, bahkan telah dipatahkan oleh korporat-tambang raksasa asal Amerika Serikat itu.
“Dengan berani dan bernyali, Jokowi memberlakukan kebijakan larangan ekspor biji nikel terhitung sejak Januari 2020. Jokowi bahkan bergeming saat kebijakan itu diadukan ke World Trade Organization (WTO),” ujar dia dalam keterangan tertulis, Senin (26/6).
Kendati kalah di Forum WTO, Fahmy menyebut, Jokowi justru semakin berani dan bernyali melanjutkan pelarangan ekspor seluruh hasil tambang dan mineral, tanpa hilirisasi di smelter dalam negeri.
Ia menjelaskan, tujuan hilirisasi adalah untuk menaikkan nilai tambah dan pembangun ekosistem indutri terkait. “Program hilirisasi terbukti menaikkan nilai tambah yang berlipat-lipat,” katanya.
Pasca-pelarangan ekspor bahan mentah, rinci Fahmy, Indonesia berhasil meningkatkan nilai ekspor produk turunan nikel hingga 19 kali lipat, yang semula hanya Rp 17 triliun atau US$ 1,1 miliar pada 2017 meningkat menjadi Rp 326 triliun atau US$ 20,9 miliar pada 2022.
Demikian juga dengan nilai tambah yang dihasilkan produk turunan bauksit telah meningkatkan pendapatan negara dari Rp 21 triliun pada 2017 menjadi sekitar Rp 62 triliun pada akhir 2022.
“Dengan kenaikan pendapatan itu, Jokowi semakin berani dan bernyali melanjutkan larangan ekspor seluruh bahan mentah hasil tambang dan mineral,” kata dia.
Namun sayang, kata Fahmy, nyali Jokowi itu berhasil dipatahkan oleh Freeport McMoran, yang memaksa pemerintah Indonesia untuk mengeluarkan relaksasi atau penundaan larangan ekspor konsentrat, bahan baku timah, perak, dan emas.
“Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) lagi-lagi memberikan izin relaksasi ekspor konsenterat kepada PT Freeport Indonesia (PTFI). Izin ekspor konsentrat itu mestinya berakhir pada Juni 2023, namun diperpanjang sampai Mei 2024,” tuturnya.
Menurutnya, pemberian relaksasi ekskpor konsentrat itu menimbulkan diskriminasi terhadap pengusaha nikel dan bauksit yang selama ini sudah diwajibkan hilirisasi di smelter dalam negeri. “Dampaknya, mereka akan menuntut relaksasi ekspor bahan mentah serupa,” ujarnya.
Menurut Fahmy, kalau pemerintah memenuhi tuntutan tersebut, tidak bisa dihindari nasib program hilirisasi akan porak-poranda. Program hilirisasi semakin porak-poranda manakala ditemukan ekspor ilegal bijih nikel sebanyak 5,3 juta ton ke China yang berlangsung sejak 2020.
“Selain itu, pemberian relaksasi ekspor konsentrat dan ekspor ilegal bijih nikel akan memicu ketidakpastian yang menyebabkan investor smelter hengkang dari negeri ini,” ujarnya.