Jakarta, Gatra.com - Isabel dan Alfredo Aquilizan adalah pasangan suami istri dan juga rekanan artistik yang telah memamerkan karyanya secara luas di sejumlah pameran besar dan biennial di seluruh dunia. Pasangan perupa Isabel dan Alfredo Aquilizan mulai aktif berkarya di Filipina pada akhir tahun 1990-an dan 2000-an, sebuah periode di mana minat terhadap seni rupa dan praktik kontemporer di Asia Tenggara tengah berkembang.
Saat ini mereka sedang mengadakan pameran bertajuk ‘Somewhere, Elsewhere, Nowhere’ di Museum MACAN yang menampilkan karya berskala besar, ekspansif, dan interaktif. Karya Isabel dan Alfredo Aquilizan menggunakan ragam material yang sederhana dan mudah ditemukan seperti kardus, sandal jepit, sikat gigi, dan selimut.
Baca Juga: “Somewhere, Elsewhere, Nowhere”, Pameran Survei Besar Duo Aquilizan
Benda-benda yang sarat akan aktivitas masyarakat—juga yang kerap digunakan ketika bepergian—menjadi simbol dari pergerakan manusia sekaligus perpindahan. Bagi mereka, material-material ini merupakan medium sederhana yang dapat membangkitkan ide-ide mengenai identitas individu, sejarah, perjalanan, dan migrasi.
Flora Libra Yanti dan Hidayat Adhiningrat P. mewawancarai mereka berdua Kamis (22/6) lalu. Dalam wawancara tersebut, Isabel dan Alfredo bercerita banyak hal. Mulai dari proses kreatif dalam pembuatan karya, peran seni untuk kehidupan, hingga tantangan bekerja dalam sebuah keluarga. Berikut petikannya:
Pada pameran “Somewhere, Elsewhere, Nowhere” ini, apa yang ingin kalian sampaikan pada publik?
Alfredo: Pameran ini menarik bagi kami. Bukan saja karena pameran ini banyak menampilkan karya lama, yang kami buat jauh di tahun 90-an, tetapi juga karena kami harus menciptakannya kembali dan menunjukkannya di sini, di Indonesia. Kami bekerja dalam proses rekontekstualisasi. Sekarang adalah waktu yang berbeda, lokasi yang berbeda, keadaan yang berbeda. Jadi saya kira, ide tentang pameran itulah yang ingin saya bagikan dengan Anda semua.
Apakah ini pertama kalinya kalian pameran di Jakarta?
Isabel: Beberapa karya sudah pernah kami pamerkan [di Indonesia]. Tapi di museum, ini adalah pertama kalinya. Kami telah bekerja dalam rentang praktik berkesenian selama lebih dari dua dekade. Ini pertama kalinya kami dapat menunjukkan begitu banyak karya dalam bentuk dan bahan yang berbeda.
Banyak karya kalian yang menonjolkan gagasan tentang rumah, keluarga, perasaan hadir dalam ketiadaan, dan juga akumulasi kenangan. Apakah interpretasi ini dipengaruhi oleh keputusan kalian pindah ke Australia?
Alfredo: Ya, menurut saya apapun yang kita lakukan, apapun perubahan dalam hidup, itu selalu mempengaruhi pekerjaan kita. Karena seni tidak terpisah dengan kehidupan. Salah satu contoh ketika anak kami masih kecil karya-karya kami menerjemahkan hal sehari-hari mereka. Seperti, misalnya, kami menggunakan sweater mereka saat bayi sebagai bahan pembuatan karya.
Hal ini terus berlanjut sampai kita pindah ke Australia. Proses perpindahan Itu juga menjadi sebuah proyek seni, seperti membicarakan kejadian yang ada dalam hidup kita. Pada dasarnya, tentang memilih apa yang akan dibawa dan apa yang akan ditinggalkan. Menurut saya itu proses yang sangat menyakitkan dan memilukan, dan itu kami tunjukkan di Sydney Biennale tahun 2006.
Isabel: Apa yang Anda lihat dalam pameran ini adalah cerminan dari apa yang terlihat di sekitar kita. Seperti bagaimana kita menanggapi lingkungan dan orang-orang yang kita temui. Semua datang dan pergi secara alami. Tentang bagaimana perasaan, tentang warna yang kita lihat di sekitar. Jadi begitu saja, itu otomatis.
Kepekaan kami sebagai orang Filipina pun muncul. Gagasan tentang sikat gigi, misalnya, alat itu kita gunakan untuk membersihkan gigi, tetapi toh kita juga menggunakannya untuk membersihkan sepatu.
Ada alasan khusus kenapa kalian memilih material sikat gigi?
Alfredo: Sikat gigi itu bisa saja menunjukkan kenyataan bahwa ada banyak plastik di sekitar kita. Tapi pada saat yang sama, itu juga berbicara tentang hal-hal lain, seperti perbedaan budaya atau perbedaan ekonomi. Di beberapa negara, seperti misalnya di barat, setelah tiga bulan mereka mungkin akan membuang sikat gigi itu. Tapi kebiasaan kami berbeda, kami menggunakannya untuk membersihkan sepatu dan sebagainya. Jadi Anda bisa mulai membaca apa yang tersirat di sini.
Proyek ini sebenarnya muncul pada tahun 1997 ketika kami mulai melihat masa lalu kolonial kami (negara Filipina) dengan Kuba, karena karya ini pertama kali dipamerkan di Kuba. Kami dijajah oleh Spanyol selama 333 tahun, baik itu Kuba maupun Filipina. Artinya, kita memiliki sejarah paralel. Nyatanya, Jose Martín dan Jose Rizal adalah sahabat. Mereka adalah pahlawan nasional. Karena jalur perdagangan, kami selalu punya gula, berondong jagung, dan nanas. Sekarang kami memiliki hal-hal yang berhubungan dengan mulut dan itulah yang kami pikirkan tentang penggunaan sikat gigi yang berhubungan dengan ide identitas.
Isabel: Hal yang juga menarik adalah ketika kami melihat reaksi orang saat memberikan sikat gigi mereka. Orang terkadang seperti, oke, tidak apa-apa, buang saja. Tapi ada juga yang membungkusnya dengan sangat pribadi.
Alfredo: Beberapa orang tidak mau “menyerah”, Anda paham kan maksud saya? Menarik melihat perilaku manusia melalui objek. Itu mungkin salah satu alasan mengapa kami sangat tertarik pada objek. Tetapi, catatannya, ini kami lakukan hanya dalam kepentingan untuk menciptakan karya.
Begitu juga dengan selimut? Karena benda ini bisa menunjukkan kepribadian orang dan betapa berbedanya budaya dari setiap negara? (Alfredo dan Isabel beberapa bulan sebelum pameran mengadakan open call untuk mengumpulkan sikat gigi dan selimut untuk karya mereka –red)
Alfredo: Ya, bahkan soal warna. Misalnya, selimut dari Korea itu sama sekali berbeda dengan selimut dari Jepang. Korea lebih mengkilap tetapi Jepang lebih halus dan lembut. Ini juga berkaitan dengan topografi, geografi, dan iklim. Kita kan memiliki selimut yang sangat tipis di sini.
Jadi, sekali lagi, itu bervariasi tergantung pada banyak hal. Sebenarnya banyak sekali bacaan yang bisa kita dapat, dan inilah inti dari pameran ini. Saya pikir kami hanya meletakkan hal-hal tersebut di atas meja agar orang-orang bisa terlibat, berhubungan, dan berinteraksi. Pada saat yang sama mereka membuat cerita sendiri dan mulai memikirkan hal-hal yang lebih dalam.
Bahkan kita bisa membicarakan situasi politik, tentang masalah perburuhan di seri karya “sayap kiri”, dan sebagainya. Jadi ini adalah sesuatu yang memungkinkan dan mudah-mudahan orang akan dapat mulai mengajukan pertanyaan setelah melihat pamerannya.
Bisakah dikatakan bahwa pilihan Anda untuk menggunakan benda-benda dari kehidupan sehari-hari seperti ini adalah cara membaca bagaimana orang dan budaya dari setiap tempat? Atau adakah alasan lain yang mendasarinya?
Alfredo: Itu juga strategi kami agar orang mulai benar-benar terlibat dalam seni. Ini seperti meletakkan seni ke tingkat orang awam. Ketika mereka mulai terlibat, mereka mulai menghargai. Dan ketika mereka mulai menghargai, mereka mulai mengerti. Ketika mereka mulai mengerti, mereka mulai berpikir lebih dalam.
Isabel: Kemudian jika mereka mulai berpikir lebih dalam, pertanyaan selanjutnya adalah pada diri Anda sendiri. Anda kembali dan bertanya pada diri sendiri. Apa yang harus saya lakukan? Karena kita semua punya tujuan.
Kami juga mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu pada diri kami. Dan itu penting karena itulah peran seni. Seni tidak hanya ada sebagai komoditas. Bagi kami sebagai seniman, ada tanggung jawab besar yang kami rasakan. Kami berdua juga pendidik, selain itu kami adalah orang tua. Tetapi sebagai seniman ada peran sangat besar yang bisa kami mainkan untuk menggunakan cara yang ampuh ini, yaitu membuat dan menciptakan sesuatu yang bukan hanya cantik tetapi juga bermakna dan berbicara tentang banyak hal.
Alfredo: Saya pikir juga penting untuk mengembalikan ekologi tentang apa itu seni dan kehidupan lalu melihat perannya ke dalam masyarakat. Sebagai seniman, kami memiliki tanggung jawab besar untuk merefleksikan apa yang terjadi di sekitar karena kami melihat berbagai hal secara berbeda. Kami menggunakan kosakata visual. Kami memiliki kosakata yang sama sekali berbeda untuk menyajikan apa yang kami lihat.
Saya pikir itu juga sangat penting bagi mereka [yang awam] untuk coba melihat sesuatu dan memahami sesuatu dengan cara yang berbeda, yang menurut saya, seperti yang dikatakan Isabel, seni adalah media yang sangat kuat, atau alat yang sangat kuat bagi kita untuk melakukan itu.
Isabel: Harapannya, apa yang kami lakukan dapat memberdayakan dan menginspirasi.
Jadi selain mendidik, memberdayakan, menginspirasi, Anda juga mendorong dialog dengan audiens?
Isabel: Kami sangat berharap tetapi kami tidak ingin benar-benar memaksakan. Tidak ada yang benar dan salah dalam apa yang mereka lihat. Kami selalu mengatakan bahwa ruang yang kami buat ini adalah agar setiap orang mulai terhubung dan membiarkan diri mereka membuat cerita sendiri di dalamnya. Mereka akan melakukan sesuatu, atau mungkin tidak melakukan sesuatu sama sekali.
Alfredo: Saya pikir itu hanya ide untuk menciptakan ruang bagi orang untuk berkumpul, bisa secara fisik maupun non-fisik, tetapi ada proses di mana mereka bersatu melalui objek mereka. Seperti membuat semacam komunitas imajiner yang membawa semua cerita yang menyertainya. Tetapi pada saat yang sama, kami juga membuat karya yang kami buat di workshop, seperti misalnya, satelit besar dengan rumah kardus yang kami buat dengan anak-anak dari China atau Filipina. Dengan itu kami menciptakan ruang bagi orang untuk datang dan membangun sesuatu.
Saya pikir itu sangat penting di zaman kita sekarang. Kita perlu memiliki ruang untuk duduk dan mulai menjalin hubungan. Seperti saat ini, setelah masa pandemi, menurut saya lebih penting untuk berinvestasi dalam sebuah hubungan. Karya seperti yang kami buat adalah cara lain untuk melakukannya.
Kalian memiliki karya yang menggambarkan sayap kiri. Pertanyaannya, apakah ada alasan filosofis tentang sisi kiri (left side) ini? Kenapa tidak sisi kanan (right side)?
Alfredo: Right side maka yang satunya adalah wrong side, Hahaha… — (Alfredo Tertawa)
Jadi kami mempelajari pemberontakan tahun 1960-an di Indonesia. Ada satu istilah yaitu “belok kiri jalan terus”. Dari yang kami pelajari, itu adalah istilah yang mereka gunakan sebagai kata sandi. Ini yang memicu ide untuk membuat sayap kiri (Left Wing Project).
Kami bertemu banyak petani yang hilir mudik di Yogyakarta ketika kami melakukan residensi sekitar tujuh atau enam tahun yang lalu. Kami mulai bercakap-cakap dan menyelidiki hal ini, lalu kami menemukan masalah soal tenaga kerja. Ketika mulai memikirkannya, kami melihat arit mereka. Saya pikir pada dasarnya benda itu berhubungan langsung dengan gagasan tentang semua ini dan apa yang kita perjuangkan.
Arit juga berbicara tentang ide keluarga, di mana itu adalah pusaka yang diwariskan secara turun-temurun. Bagi saya ini adalah sebuah identitas. Jadi di karya itu, Belok Kiri Jalan Terus, ada sayap kiri yang melayang di atas kepala, diimbangi dengan timbangan dan nasi dalam porsi kecil. Jika Anda mulai hidup di antara garis dan sayap kiri yang melayang di atas kepala, itu perlu diimbangi dengan timbangan dan sekarung beras.
Di pameran ini ada karya berjudul “Caged”, ini karya terbaru kalian?
Isabel: Ya. Itu dibuat di Yogyakarta saat kami residensi bersama Alia Swastika. Dan itu juga dibuat bersama siswa yang sangat menginspirasi kita untuk berinteraksi atau hanya bercerita dengan mereka, bersama mereka, dan belajar banyak dari mereka.
Alfredo: Ide tentang karya “Caged” itu muncul saat kami mengunjungi pasar burung. Sebelumnya kami telah belajar lebih banyak tentang kontes kicau burung. Kami juga bekerja dengan pengrajin dan kami tertarik dengan pembuat sangkar burung ini. Kami memikirkan, ya, mungkin kami bisa melakukan sesuatu dan berkolaborasi dengan mereka.
Kami juga mulai melihat masalah yang mengelilinginya. Tentu saja, kami tidak ingin melihatnya sebagai sesuatu yang benar-benar dipertanyakan, tetapi ini adalah sesuatu yang kami kemukakan agar orang-orang mulai memikirkannya, karena ini adalah tradisi ratusan tahun bahwa manusia memelihara burung di dalam kandang.
Pada saat yang sama, ribuan burung ditangkap di Sumatera, misalnya, dan dibawa ke Jawa. Saya pikir itu juga sangat ironis dalam beberapa hal. Lalu, kami menciptakan bentuk sayap pesawat dari kandang burung itu. Hanya satu sayap, bukan dua sayap. Itu berbicara tentang gagasan bahwa mereka tidak bisa terbang.
Indonesia dan Filipina, kita memiliki budaya dan sejarah yang hampir sama. Apa pendapat Anda tentang perkembangan seni rupa di Indonesia dan juga kaitannya dengan sejarah dan penjajahan?
Alfredo: Saya pikir kita memiliki kesejajaran, dalam beberapa hal kita memiliki sejarah paralel. Kita telah dijajah kemudian setelah itu memiliki kemerdekaan, dan setelah itu kita memiliki semacam sistem politik yang naik turun yang menciptakan banyak masalah. Kami punya banyak teman artis Indonesia seperti Heri Dono, Dadang Christanto, Agus Suwage, Nindityo, F.X Harsono, Tisna Sanjaya. Menurut saya, dalam beberapa hal, karena mungkin kita berada di wilayah yang sama, kami memiliki kepekaan yang sama atau mungkin melihat sesuatu dengan cara yang sama.
Kita juga melihat bahwa seni merupakan sesuatu yang dapat kita gunakan untuk berbicara tentang sesuatu seperti politik, misalnya. Jadi, ya, menurut saya perkembangan seni rupa kontemporer di kawasan ini paralel.
Sebagai pasangan suami istri, apakah ada tantangan khusus saat bekerja sama dalam membuat karya seni?
Isabel: Itu selalu menjadi tantangan karena kami berdua berasal dari latar belakang yang berbeda. Jadi, latar belakangnya (Alfredo) adalah seni visual sementara saya seni produksi. Dari latar belakang keluarga, saya dari Manila dan dia benar-benar dari provinsi, bagian jauh di utara provinsi. Dia berasal dari minoritas, yaitu Ibanag. Dia berbicara dua bahasa dan saya hanya mengetahui Tagalog karena saya dari Manila. Saya dari kota, meskipun saya benar-benar tidak menyukai perkotaan. Bagaimanapun, ya, sangat menantang.
Tapi kita tahu kapasitas kita, kita tahu bahwa saat kita bekerja ada kalanya kita sepakat pada suatu hal dan ada kalanya saling bertentangan. Tetapi pada saat yang sama, karena kita perlu mencapai tujuan tertentu, jadi kita harus benar-benar meletakkan semuanya dalam satu piring dan mencoba memasak resep yang benar-benar enak agar rasanya bisa menjadi enak.
Apakah lebih sulit dibandingkan bekerja bersama dengan anak-anak Anda?
Alfredo: Saya pikir lebih sulit untuk bekerja dengan istri. Hahaha… — (Alfredo dan Isabel Tertawa)
Dengan banyaknya perbedaan di antara kalian, cara berdiskusi seperti apa yang kalian lakukan satu sama lain?
Isabel: Ada banyak hal untuk didiskusikan. Ide datang dari dia, dari saya, atau dari anak-anak. Percakapan kami selalu terjadi seperti saat kami makan malam bersama keluarga. Dan ide itu bisa datang saat makan malam, atau bersama anak-anak kita, dan terutama jika kita bepergian dan melihat atau mencicipi makanan. Dan siapa yang tahu apa yang akan keluar dari situ?
Alfredo: Saya pikir itu hanya stimulasi. Cara kami bekerja adalah hal yang sangat organik. Jadi kami hanya duduk, atau mungkin membangun sesuatu bersama. Dan apa pun yang keluar, kami hanya mempercayai prosesnya. Jadi kami tidak panik, itu organik, seperti yang mereka katakan.
Dan itu juga yang kami pelajari di Indonesia. Ada hal-hal yang sangat sulit dan kami sangat akrab dengan itu karena kami telah bekerja di begitu banyak tempat yang berbeda, dalam situasi yang berbeda. Terlebih lagi jika Anda berasal dari Filipina, kepala Anda selalu berada di jalan di mana Anda hanya perlu menavigasi dan menemukan jalan serta memanfaatkan apa pun yang Anda miliki.
Jadi apakah di masa depan kita akan melihat pameran yang diadakan seluruh keluarga kalian?
Alfredo: Kami sedang ada pameran yang berlangsung sekarang di Sydney sebagai sebuah kolektif. Sebenarnya ini adalah pameran dua tahunan dari seniman praktik kontemporer di Australia. Mereka memilih kolektif keluarga untuk pameran ini. Jadi, kami sekarang memiliki karya yang dibuat oleh kolektif.
Faktanya juga, sekarang tiga anak kami ada di sini. Salah satunya pergi karena dia ada pertunjukan di New York.