Palembang, Gatra.com - Perhutanan sosial merupakan pendekatan dalam pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat lokal sebagai pemangku kepentingan utama, guna memberikan akses dan kontrol terhadap sumber daya hutan kepada masyarakat lokal, sambil mempromosikan konservasi dan pengelolaan yang berkelanjutan.
Di Sumatera Selatan (Sumsel), konflik tenurial sering terjadi antara masyarakat lokal, perusahaan perkebunan, dan pemerintah terkait kepemilikan dan penggunaan lahan hutan. Konflik ini dapat berkembang karena perbedaan penafsiran terhadap hak kepemilikan dan pengelolaan sumber daya hutan.
Kepala Dinas Kehutanan Kepala Dinas Kehutanan Sumsel, Panji Tjahjanto mengatakan, penerapan perhutanan sosial dapat menjadi solusi yang efektif dalam menekan konflik tenurial di Sumsel. Dengan memberikan akses dan kontrol terhadap sumber daya hutan kepada masyarakat lokal, perhutanan sosial dapat membantu mengurangi ketegangan antara pihak-pihak yang terlibat.
"Melalui perhutanan sosial, masyarakat lokal dapat memiliki kepastian hukum terkait kepemilikan dan penggunaan lahan hutan yang mereka kelola. Hal ini dapat mengurangi ketidakpastian dan konflik yang mungkin timbul akibat tumpang tindih klaim kepemilikan," ujarnya kepada Gatra,com di sela Rapat Kerja Himpunan Masyarakat Perhutanan Sosial di Sumsel, Senin (19/6).
Hanya saja, dirinya tidak memiliki data pasti perhitungan secara kuantitas jumlah konflik tenurial yang terselesaikan melalui skema perhutanan sosial. Program perhutanan sosial sangat dibutuhkan untuk menekan potensi perambahan hutan dan meredam konflik.
"Dari hasil pendampingan, perhutanan sosial di Sumsel terbukti bisa meredam risiko penebangan liar atau bentuk kerusakan hutan lain. Tapi saya tahu berapa besar. Saya tidak tahu angkanya," ungkapnya.
Ia menambahkan, masih kurangnya tenaga pendamping menjadi salah satu permasalahan dalam percepatan perhutanan sosial di Sumsel. Keberadaan mereka sangat dibutuhkan, terutama dalam upaya pembentukan pelembagaan, pembuatan program kerja, dan pengembangan kapasitas petani di dalam kawasan hutan.
"Saat ini, Sumatera Selatan baru memiliki 55 tenaga pendamping perhutanan sosial. Padahal, seharusnya satu izin perhutanan sosial didampingi oleh satu tenaga pendamping sehingga Sumsel masih kekurangan 156 tenaga pendamping," katanya.
Dalam proses pengembangan kawasan hutan, lanjut Panji, kelompok petani juga biasanya terbentur beberapa kendala, seperti keterbatasan modal, akses pasar, dan menyatukan pemikiran dalam sebuah program. Di sinilah diperlukan sinergitas semua pemangku kepentingan.
Direktur Bina Usaha Perhutanan Sosial dan Hutan Adat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Catur Endah Prasetiani menuturkan, untuk mempercepat program perhutanan sosial, sejumlah strategi mulai dicanangkan. Strategi itu seperti penyelarasan program kementerian untuk peningkatan kapasitas warga yang tinggal di kawasan hutan.
"Karena KLHK tidak bisa kerja sendiri, penyelarasan program antarpemangku kepentingan pun sangat dibutuhkan," ujarnya.
Adapun konsep pengelolaan kawasan perhutanan yang paling mungkin dilakukan adalah agroforestri di mana warga bisa memanfaatkan beragam jenis usaha kehutanan dengan konsep kehutanan berkelanjutan. "Dengan cara ini, diharapkan petani setempat bisa memperoleh pendapatan lebih dari satu jenis komoditas. Selain itu, tutupan hutan bisa semakin bertambah," ujar Catur.
Direktur Eksekutif Perkumpulan Hutan Kita Institute (HaKI) Deddy Permana mengatakan, perhutanan sosial di Sumsel, telah memberi bukti keselarasan peningkatan kesejahteraan, lingkungan, dan budaya.
“Kolaborasi adalah pilihannya. Potensi perhutanan sosial Sumsel sangat besar. Masih banyak juga yang belum terealisasi. Masih banyak juga yang belum menerima manfaat perhutanan sosial. Pilihannya adalah kolaborasi antara pemerintah, swasta, NGO, akadimsi, dan tentunya masyarakat perhutanan sosial sendiri sebagai pemangku kepentingan utama,” ujarnya.
Berdasarkan peta indikatif, luasan perhutanan sosial Sumsel mencapai 413.151 hektar (ha). Dari jumlah tersebut, usulan yang sudah mendapatkan persetujuan pengelolaan hutan baru sekitar 134.213 ha yang terbagi dalam 211 izin. Pengelolaan itu melibatkan sekitar 32.000 kepala keluarga (KK) dengan 261 kelompok usaha tersebar kurang di 130 desa pada 11 kabupaten/kota.
Sementara, Gubernur Sumsel, Herman Deru berharap, agar warga dapat memberikan nilai tambah pada produk yang dikelolanya. Dia mencontohkan komoditas karet yang banyak dimanfaatkan di dalam kawasan hutan.
Petani di sana perlu dilatih untuk membuat produk karet dalam bentuk lateks sehingga bisa diturunkan menjadi berbagai produk seperti sarung tangan dan alat kontrasepsi. Menurut dia, dengan pemanfaatan hutan, diharapkan risiko kebakaran lahan di Sumsel, dapat dikurangi karena semakin banyak warga yang memperoleh manfaat dari tegakan hutan.