Home Lingkungan Disertasi Kolonel Widodo: Dominasi TNI di Program Citarum Harum

Disertasi Kolonel Widodo: Dominasi TNI di Program Citarum Harum

Jakarta, Gatra.com – Program Citarum Harum sudah berjalan selama 5 tahun. Pelaksanaan program ini mengacu pada Perpres Nomor 15 Tahun 2018 tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Ekosistem Daerah Aliran Sungai Citarum.

Dalam Perpres tersebut, hampir semua Kementerian/Lembaga terlibat. Mereka terdiri dari Tim Pengarah dan Satuan Tugas (Satgas). Di Tim Pengarah ada dari Kemenko Maritim dan Investasi, Kemenkopolhukam, Kemenko Perekonomian, dan Kemenko PMK.

Lalu di tingkat kementerian teknis, ada Kemendagri, Kementerian Agama, Kemendikbudristek, Kemenkes, Kementerian Perindustrian, Kementerian ESDM, Kementerian PUPR, dan Kementerian Pertanian. Kemudian ada Kementerian LHK, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian BUMN, Kejagung, TNI, Polri hingga BPKP.

Kemudian di Tim Satgas ada Pemerintah Daerah Jawa Barat, Kodam Siliwangi, Kodam Jayakarta, Polda Jawa Barat, Kejati Jawa Barat dan Polda Metro. Berdasarkan disertasi Kolonel Widodo, dari semua institusi tersebut, yang paling dominan dalam pelaksanaan program Citarum Harum adalah Tentara Nasional Indonesia (TNI).

“Berdasarkan hasil penelitian menegaskan bahwa TNI di Satgas menjadi aktor yang mendominasi dibandingkan dengan pemerintah daerah,” seperti tertulis di dalam disertasi berjudul, Collaborative Governance dalam Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum di Kabupaten Karawang Tahun 2019-2021 dalam keterangan pers Minggu (18/6).

Widodo yang sempat mendapuk Komandan Sektor 19 Citarum Harum tersebut menyebutkan, penyebab dominasi TNI di Satgas. Pertama adanya dominasi fungsi mengartikan bahwa terdapat sumber daya yang lebih unggul yang dimiliki dibanding institusi lain. Kedua, adanya dominasi struktur sebagai keunggulan atas sumber daya yang dimiliki oleh TNI dibandingkan pihak lainnya berdasarkan struktur kewenangan.

Meski demikian, kata Doktor Universitas Padjadjaran itu, setiap pihak sudah melakukan perannya di Satgas Citarum. “Berkaitan dengan dominasi salah satu aktor bukan dimaknai sebagai intervensi terhadap actor lain, melainkan sebagai peran yang dilebihkan dari aktor lain semata-mata demi keberlangsungan kolaborasi tersebut,” ujar Widodo.

Dalam disertasinya, doktor peraih cumlaude itu juga menemukan bahwa kolaborasi antar Kementerian/ Lembaga dalam program Citarum harum, belum sesuai dengan model Collaborative Governance. Model Collaborative Governance memuat 4 variabel, yaitu kondisi awal (starting condition), fasilitasi kepemimpinan (facilitative leadership), desain institusional (institusional design), dan proses kolaborasi (collaborative process).

Collaborative governance Ansell & Gash (2007), belum mampu dioperasionalkan secara menyeluruh dalam revitalisasi DAS Citarum di Kabupaten Karawang,” tulis Widodo dalam disertasinya.

Hasil penelitian Widodo menunjukkan, selain ketidakseimbangan berupa dominasi TNI, terdapat adanya ketidakmerataan pengetahuan stakeholders, seluruh pihak memiliki motif dari sekedar insentif, dan tingginya ketergantungan antar pihak-pihak yang terlibat di dalam program Citarum Harum.

Maka itu, untuk mendorong kepatuhan para pihak yang terlibat, Widodo menyarankan perlu penambahan aspek punishment (hukuman) dalam pelaksanaan program. “Aspek punishment mampu memperkuat institutional design sebagai cara meminimalisir pencideraan serta mendorong output yang lebih optimal,” sebut Widodo dalam disertasinya.

Disertasi Widodo juga mengusulkan agar perlunya aspek baru berupa, substansi isi kebijakan. Aspek ini memiliki ukuran berupa kelayakan kebijakan maupun program yang dikolaborasikan, keterlibatan aktor secara jelas, serta kewenangan aktor.

“Aspek, substansi isi kebijakan, mampu meminimalisisr berbagai macam dissensus dalam proses kolaborasi berbentuk inkonsistensi aktor yang secara berkelanjutan berimplikasi terhadap peningkatan kualitas dan capaian kolaborasi,” seperti tertulis dalam disertasi Widodo.

Seperti diketahui, Sungai Citarum merupakan sungai terbesar di Jawa Barat. Sungai ini berperan menjadi sumber kehidupan bagi 35 juta jiwa. Citarum terbentang sepanjang 297 Km dari hulu di Situ Cisanti dan bermuara di Pantai Utara Pulau Jawa, yaitu di Muara Gembong Kabupaten Bekasi.

Adapun daerah aliran sungai Citarum melintasi 12 Kabupaten dan 1 Kota Madya. Citarum begitu vital karena keberadaannya menjadi sumber air baku bagi 80% air minum masyarakat Jakarta. Citarum juga menjadi sumber air irigasi bagi 420.000 Ha lahan pertanian, serta sumber tenaga Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang menghasilkan 1.888 MW listrik bagi Pulau Jawa dan Bali.

Ironisnya kondisi aktual DAS Citarum mengalami pencemaran dan kerusakan lingkungan luar biasa. Sampah yang dibuang sebesar 3512,2 ton per hari bersumber dari 8 kabupaten/kota.

201