Jakarta, Gatra.com – Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menyampaikan bahwa proyek interkoneksi jaringan ASEAN melalui ASEAN Power Grid (APG) dapat menjadi titik mula bagi negara-negara ASEAN untuk dapat meningkatkan kapasitas energi terbarukan dalam sektor kelistrikan dan mulai beralih dari ketergantungan energi fosil.
Fabby dalam keterangan pers, Minggu (18/6), menyampaikan, kepemimpinan Indonesia di ASEAN 2023 dengan salah satu fokus utama ketahanan energi berkelanjutan (sustainable energy security) hendaknya dimanfaatkan untuk mendorong negara-negara anggota ASEAN untuk mulai fokus pada upaya dekarbonisasi sistem energinya.
“Indonesia memiliki kesempatan memimpin ASEAN untuk melakukan transisi energi, meningkatkan bauran energi terbarukan dan mengurangi energi fosil,” katanya.
Menurutnya, Indonesia telah memberikan contoh bagi negara-negara ASEAN lainnya untuk memiliki target transisi energi yang lebih ambisius selaras dengan dengan Paris Agreement. Salah satunya adalah mendorong negara-negara ASEAN untuk melakukan pengakhiran operasi PLTU batu bara sebelum 2050.
“[Indonesia] juga mendorong kesepakatan antara negara-negara ASEAN untuk membangun industri sel dan modul surya dan penyimpan energi (battery),” ujar Fabby.
ASEAN sendiri telah memiliki kapasitas sekitar 7.645 MW pada jaringan interkoneksi yang ada dalam proyek ASEAN Power Grid, berdasarkan paparan dari Sub Koordinator Program Gatrik Kementerian ESDM, Yeni Gusrini, dalam webinar IESR berjudul “Toward a Decarbonized ASEAN”. Ke depannya jaringan interkoneksi tersebut akan ditambah kapasitasnya menjadi sekitar 19.000 sampai dengan 22.000 MW dan mencakup area yang lebih luas.
“ASEAN Power Grid berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi di ASEAN untuk membantu memenuhi permintaan energi di ASEAN dan untuk mengembangkan pertumbuhan pemain industri regional,” kata Yeni.
Pada tahap pertama, lanjut dia, jaringan listrik di Laos, Thailand, Malaysia, dan Singapura telah terkoneksi melalui Lao PDR, Thailand, Malaysia, Singapore Power Integration Project (LTMS-PIP), yang telah menjadi pelopor mekanisme perdagangan daya yang ditransmisikan 100MW dari Laos ke Singapura dengan memanfaatkan interkoneksi yang ada.
IESR memandang pembangunan jaringan interkoneksi yang mengakomodasi integrasi energi terbarukan di Indonesia perlu dipercepat agar selaras dengan Persetujuan Paris untuk mencapai net zero emission (NZE) pada 2050.
“Interkoneksi antarpulau di Indonesia dan juga antarnegara di ASEAN merupakan salah satu faktor enabler dari integrasi energi terbarukan,” ujar Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi IESR.
Menurutnya, keberadaan interkoneksi akan membantu atasi masalah intermiten serta juga memaksimalkan pemanfaatan energi terbarukan, sehingga jika ada kelebihan listrik energi terbarukan, seperti PLTS di siang hari yang dibangun di suatu lokasi, bisa di transfer listriknya ke lokasi lain.
Namun, kata dia, sebelum itu, negara ASEAN harus tetap berbenah diri dan menjadikan prioritas pertama untuk memperbaiki iklim investasi energi terbarukan di negara masing-masing dan juga di regional dengan kerangka regulasi yang lebih menarik.
Deon menuturkan, Indonesia merupakan negara dengan ekonomi dan konsumsi energi terbesar di ASEAN serta mempunyai sumber daya energi terbarukan yang masif. Dengan tampuk kepemimpinan ASEAN tahun ini serta proses dan regulasi yang suportif pada transisi energi di level nasional seperti JETP dan juga RUU EBET, hal tersebut akan membuat Indonesia bisa menjadi teladan dan memicu akselerasi proses transformasi kawasan ASEAN.
IESR meyakini bahwa upaya dekarbonisasi ini tidak hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga melibatkan partisipasi dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk sektor swasta, masyarakat sipil, dan lembaga internasional.
“Dalam semangat kolaborasi ini, Indonesia perlu mengundang semua pihak untuk bergabung dalam upaya mengatasi perubahan iklim dan menciptakan masa depan yang berkelanjutan bagi ASEAN,” katanya.
Upaya tersebut dalam rangka mencapai keamanan energi yang berkelanjutan dan menghadapi tantangan perubahan iklim global. Untuk itu, Indonesia dalam keketuaan di ASEAN pada 2023 perlu memainkan peran kepemimpinan yang kuat dalam upaya dekarbonisasi sektor energi di kawasan Asia Tenggara.
Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang Indonesia dapat mempererat kerja sama dan kolaborasi regional dalam hal inovasi, teknologi, dan penelitian di bidang energi terbarukan serta mendorong kebijakan yang jelas dan menarik untuk peningkatan investasi di sektor energi terbarukan.
Sebagai kawasan, ASEAN telah berkomitmen untuk mencapai target 23% bauran energi terbarukan dalam energi primer dan 35% kapasitas energi terbarukan terpasang pada 2025. Selain itu, untuk memperluas perdagangan listrik regional, mengintegrasikan jaringan listrik kawasan dan memperkuat keandalan jaringan listrik, ASEAN sedang membangun ASEAN Power Grid (APG).