Jakarta, Gatra.com - Kementrian Pertahanan (Kemhan) baru-baru ini melakukan pembelian jet tempur Mirage 2000-5 bekas dari Qatar sejumlah 12 unit yang anggarannya mencapai Rp11,8 triliun. Kebijakan itu sontak mendapat kritikan dari DPR. Anggota Komisi I DPR Sukamta mempertanyakan efektivitas dan ketepatan pengadaan alutsista Kemhan. Menurutnya, pengadaan pesawat bekas bakal menimbulkan masalah di kemudian hari.
“Tidak ada perencanaan jangka panjang mengenai pembelian pesawat bekas ini. Alasan Kementerian Pertahanan membeli pesawat bekas dengan alasan lebih cepat dalam penyediaan alutsista dibandingkan dengan pembelian pesawat baru untuk menutupi berkurangnya alutsista menunjukan Kemhan tidak memiliki perencanaan strategis dan implementasi dengan baik,” ucap Sukamta.
Politikus PKS ini membeberkan sejumlah masalah lain yang akan muncul. Kemhan, lanjut Sukamta, tidak belajar dari banyak permasalahan yang muncul setelah 24 unit pesawat F-16 dari Amerika Serikat (AS) senilai US$750 juta tahun 2011 dengan biaya perawatan yang lebih mahal dibandingkan pesawat sejenis seperti Gripen dengan kemampuan tidak jauh berbeda.
Persoalan pertama yang ditengarai muncul adalah pengadaan pesawat tempur bekas tersebut berpotensi melanggar UU Nomor 16 Tahun 2012 mengenai industri pertahanan. “Partisipasi industri pertahanan di dalam negeri dalam pembuatan alutsista. Pembelian pesawat bekas jelas tidak melibatkan industri pertahanan dalam negeri sehingga alih teknologi dan penggunaan bahan baku pembuatan alutsista yang berasal dari dalam negeri tidak akan ada,” ujarnya.
Masalah kedua, tidak adanya jaminan ketersediaan suku cadang, perawatan dan perbaikan kerusakan pesawat dalam jangka panjang dari produsen pesawat. Menurutnya, jaminan support service hanya terbatas tiga tahun berpotensi menimbulkan masalah di masa depan. Ketiga, biaya perawatan atau maintenance akan tinggi.
“Pesawat Mirage 2000-5 telah dipakai Qatar sejak 26 tahun lalu. Sedangkan, usia aktif pesawat tempur antara 30-40 tahun. Artinya, sekitar 10 tahun lebih sedikit pesawat ini bisa dipakai secara optimal dengan catatan perawatan dan suku cadang tidak ada masalah,” ia menjelaskan.
Sukamta lantas mengingatkan bahwa pembelian pesawat Mirage 2000-5 ini bisa menjadi “bom waktu”. “Sepuluh tahun lagi, pesawat ini akan masuk museum. Anggaran pembelian nyaris Rp12 triliun belum termasuk perawatan. Pemakaian selama 10 tahunan, jika dibagi rata pertahun maka Indonesia setiap tahun menyisihkan lebih dari Rp1 trilliun untuk urusan pesawat bekas ini,” ujarnya.
Harga pesawat bekas menurutnya sangat mahal dan tidak efektif dalam usia penggunaan. Jika membeli pesawat baru, anggaran tersebut cukup untuk 12 pesawat tempur Boeing F/A-18E/F Super Hornet seharga US$ 67,4 juta Rp 968 miliar. “Bahkan bisa membeli pesawat tempur baru 9-10 buah kisaran harga Rp 1,2-1,3 triliun pesawat seperti: McDonnell Douglas F-15EX Strike Eagle, Sukhoi Su-35 Flanker E, Saab JAS 39E/F Gripen, Lockheed Martin F-35A,” paparnya.
Doktor lulusan Inggris ini meminta semua pihak terus mengawal dan mengkritisi keputusan Kemenhan ini agar kelak keputusan-keputusan strategis pertahanan tidak diambil secara serampangan.