Jakarta, Gatra.com - Pelaksanaan tata kelola hasil sedimentasi di laut sesuai PP Nomor 26 tahun 2023, dinilai akan mendatangkan manfaat ekologi sekaligus ekonomi bagi masyarakat dan negara, selama pelaksanaannya dikawal secara ketat.
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran Yudi Nurul Ihsan menerangkan, sedimentasi di beberapa lautan di Indonesia tergolong tinggi, seperti di Tasikmalaya dan wilayah selatan Jawa Barat.
Di Karawang bahkan pernah muncul daratan seluas 4 hektare yang merupakan hasil sedimentasi laut. Bila dibiarkan, keberadaan hasil sedimentasi dapat mengganggu aktivitas manusia dan juga ekosistem laut.
"Oleh karena itu sedimentasi laut perlu dikeruk agar tidak mengganggu pelayaran dan menutup terumbu karang," ungkap Yudi, Kamis (15/6/2023).
Secara ilmiah, tingginya sedimentasi di laut Indonesia salah satunya lantaran penurunan kualitas hutan mangrove yang mengakibatkan sedimentasi dari sungai ke laut tidak bisa dicegah. Kemudian ada juga faktor gelombang laut yang cukup tinggi di laut Indonesia.
Memanfaatkan hasil sedimentasi di laut untuk mendukung kegiatan pembangunan menurutnya lebih baik, daripada menggunakan pasir dari daratan. Sebab mengeruk pasir daratan dapat membahayakan kondisi laut, seperti bisa merusak kontur laut dan panjang pantai hingga mengganggu ekosistem laut.
Dia menekankan perlunya pengawalan ketat dalam menjalankan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Baik dari sisi penerapan izin maupun analisis dampak lingkungan dalam pengerukan sedimentasi laut.
"Bisa diukur sedimentasi (yang dikeruk) dari mana. Oleh karena itu, pengerukan sedimentasi laut harus dikawal," ujar Yudi
Selain itu, perlu juga dipastikan sumber dana untuk pengerukan sedimentasi laut dan kemana sedimentasi itu dijual. Dengan penanganan yang tepat, pengerukan sedimentasi untuk keperluan dalam negeri dan ekspor bisa mendatangkan devisa.
Hal ini lebih baik dibandingkan sedimentasi di laut dikeruk secara ilegal sehingga negara tidak mendapatkan penghasilan apapun. "Kalau ekspor pasir mau dibuka, sumber pasirnya harus dari sedimentasi karena itu mengganggu terumbu karang," pungkas Yudi.
Sementara itu Asisten Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Media dan Komunikasi Publik Doni Ismanto mengatakan, kehadiran PP 26/2023 mengutamakan kepentingan ekologi baru ekonomi.
Dalam Pasal 2 disebutkan pengelolaan hasil sedimentasi di laut dilakukan untuk menanggulangi sedimentasi yang dapat menurunkan daya dukung dan daya tampung ekosistem pesisir dan laut serta kesehatan laut. Kemudian mengoptimalkan hasil sedimentasi di laut untuk kepentingan pembangunan dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut.
Pengelolaannya pun dikecualikan di beberapa lokasi salah satunya di zona inti kawasan konservasi kecuali untuk kepentingan pengelolaan kawasan konservasi itu sendiri.
"Selama ini banyak pihak melihat kebijakan ini sepotong-potong serta membiaskan tujuan dari PP yang ingin meningkatkan daya dukung laut untuk aktivitas ekonomi masyarakat. Selama ini narasi yg dibicarakan di publik soal ekspor, padahal itu bukan tujuan utama, karena yang utama adalah kepentingan lingkungan dan pembangunan nasional," tegas Doni.
Doni melanjutkan, PP 26/2023 pun mengamanatkan pelaksanaan tata kelola hasil sedimentasi di laut melibatkan banyak pihak melalui pembentukan Tim Kajian yang terdiri dari unsur pemerintah, lembaga hidro oseanografi, perguruan tinggi, hingga pegiat lingkungan. Dengan demikian pemerintah mengedepankan keterbukaan dan sinergi dalam melaksanakan kebijakan pengelolaan hasil sedimentasi di laut.
"Pak Trenggono sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan sudah mengajak partisipasi aktif semua pihak mengawal aturan turunan yang tengah disusun. Dengan keterlibatan banyak pihak, kekhawatiran-kekhawatiran yang muncul seperti eksploitasi atau ancaman kerusakan ekologi, dapat kita kawal bersama," pungkasnya.