Jakarta, Gatra.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengapresiasi pihak pemohon terkait pengajuan uji materi menyoal eks terpidana korupsi dalam pencalonan anggota legislatif pada Pemilu 2024. Hal ini selaras dengan semangat pemberantasan korupsi oleh KPK.
Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan penegakan hukum tindak pidana korupsi, sebagai extraordinary crime, penting bisa memberikan efek jera pada para pelakunya.
“Sehingga hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi tidak hanya dalam bentuk tindak pidana pokok yakni pidana badan, namun juga pidana tambahan, salah satunya dalam bentuk pencabutan hak politik,” kata Ali, Selasa (13/6).
Ali menjelaskan pencabutan hak politik juga menjadi salah satu upaya untuk mencegah kembali terjadinya tindak pidana korupsi oleh eks terpidana tersebut, karena adanya pembatasan akses terhadap politik.
“Sektor politik menjadi salah satu area yang memiliki risiko tinggi terjadinya tindak pidana korupsi. Merujuk pada histori penanganan perkara, KPK telah menjerat sejumlah 343 Anggota DPR/DPRD serta 155 walikota/bupati. Di mana para pelaku tersebut merupakan produk dari sebuah proses politik,” jelasnya.
Sebelumnya, pada Senin (12/06/2023) lalu, Komisioner KPK periode 2011-2015, Abraham Samad dan Komisioner KPK periode 2015-2019, Saut Situmorang mengajukan uji materi Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2023 dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 11 Tahun 2023.
Hal itu terkait dimungkinkannya mantan terpidana korupsi maju lebih cepat menjadi calon anggota legislatif ke Mahkamah Agung. Selain dua Komisioner KPK itu, Indonesia Corruption Watch dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi turut menjadi Pemohon.
Dalam permohonan, Pemohon menyatakan bahwa Pasal 11 ayat (6) PKPU 10/2023 dan Pasal 18 ayat (2) PKPU 11/2023 secara terang benderang bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XXI/2023. Secara ringkas, PKPU 10 dan 11 Tahun 2023 telah menambahkan pasal pengecualian hitungan masa jeda waktu lima tahun dengan pidana tambahan pencabutan hak politik.
Padahal, MK melalui dua putusannya sama sekali tidak mengamanatkan ketentuan itu. Jika dibaca, putusan MK hanya menyebutkan: ketika mantan terpidana, dalam hal ini kejahatan korupsi, ingin mendaftar sebagai calon anggota legislatif melalui partai politik, maka mereka harus terlebih dahulu melewati masa jeda waktu lima tahun.
Akibat dari dua Peraturan KPU yang bertentangan Putusan MK, mantan koruptor yang mendapat sanksi pencabutan hak politik singkat, akan langsung bisa melenggang menjadi peserta pemilu. Mereka tak perlu lagi menjalani masa jeda 5 tahun sejak bebas murni. Sesuatu yang tidak disebutkan oleh Mahkamah Konstitusi di dalam putusannya.
“Poin mendasarnya, selain aspek permasalahan hukum, ada potensi integritas Pemilu tercoreng akibat dikeluarkannya PKPU 10 dan 11 Tahun 2023. Hak konstitusional warga negara sebagai Pemilih untuk mendapatkan calon anggota legislatif yang berintegritas, setidaknya dengan tolak ukur telah melewati masa jeda waktu lima tahun, terancam tidak terpenuhi,” ujar Peneliti ICW Kurnia Ramadhana.