Home Gaya Hidup Mengupas Simbol Tradisi Jembul Tulakan di Jepara

Mengupas Simbol Tradisi Jembul Tulakan di Jepara

Jepara, Gatra.com - Tradisi Jembul Tulakan, di Desa Tulakan, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, yang digelar Senin (5/6), selalu menjadi magnet bagi ribuan wisatawan lokal dan manca negara. Kearifan lokal ini, tercatat menjadi warisan budaya tak benda bangsa Indonesia.

Ada sejumlah gunungan dalam gunungan yang diarak keliling desa. Gunungan yang terbuat dari bambu yang disisir sedemikian rupa itu berisi aneka makanan dan jajanan tradisional. Tradisi ini berkaitan erat dengan cerita kesetiaan para prajurit Ratu Kalinyamat, sang penguasa Jepara.

Kepala Desa (Petinggi) Tulakan, Budi Sutrisno mengatakan, tradisi Jembul Tulakan sebagai bukti pelestarian warisan nenek moyang. Sekaligus sebagai roda penggerak perekonomian warga. "Juga pembelajaran karakter, penghormatan warga kepada pemimpin dan tokoh-tokoh yang telah berjasa dalam pembangunan desa," ujarnya.

Dalam tradisi ini, tidak lepas dari kisah kesetiaan para pengawal Ratu Kalinyamat. Sebagaimana Jembul yang tampil pertama ini berasal dari Dukuh Krajan, tempat kediaman Ki Demang Barata yang kala itu merupakan pimpinan pemerintahan di Kademangan.

Dijelaskan, jembul mempunyai ciri khas berupa golek kayu atau patung yang diletakkan di pucuk gunungan. Golek ini menggambarkan seorang tokoh bernama Sayyid Usman. "Ia seorang ulama yang menyertai Ratu Kalinyamat bertapa di Siti Wangi," jelasnya.

Kedua, dengan diiringi gending Jembul Ngemplak yang meliputi Dukuh Ngemplak, Tanggulasi, dan Kedondong. Jembul ini merupakan wujud dari penghargaan Ki Leboh Kepala Dukuh Ngemplak kepada Ki Barata yang telah mengizinkan membuka pedukuhan Ngemplak dan sekitarnya.

Pada gunungan jembul ini juga dipasang sebuah golek kayu atau patung yang menggambarkan Ki Suto Mangunjoyo, pimpinan prajurit yang mengawal Ratu Kalinyamat bertapa di hutan Alas Tuwo, yang kini dikenal sebagai pertapaan Sonder. Sonder ini, adalah tempat pertapan Ratu Kalinyamat, setelah Sultan Gadlirin, dibunuh oleh Arya Penangsang.

Ketiga, Jembul Winong menggambarkan penghargaan Ki Buntari kepada Ki Barata yang telah mengizinkan merintis membuka Dukuh Winong, Dung Pucung, dan Dung Gayam. Pada puncak gunungan jembul ini dipasang golek dari pelepah rumbia atau gabus yang merupakan wujud dari beberapa prajurit yang mengawal Ratu Kalinyamat.

Keempat, adalah Jembul Drojo merupakan penghargaan Ki Purwo kepada Ki Barata atas segala jasanya yang telah mengijinkan ia membuka pedukuhan Drojo. Pada puncak gunungan jembul dipasang golek kayu atau patung yang menggambarkan seorang prajurit pilih tanding bernama Ki Leseh yang menyertai Ratu Kalinyamat bertapa.

Setelah semua jembul datang di depan panggung utama, maka ritual berikutnya adalah pertunjukan tari tayub. Ini sebagai perlambang peristiwa saat para pimpinan padukuhan waktu menghadap Ratu Kalinyamat saat bertapa. Setelah menyampaikan bekti kemudian dipertunjukkan tari tayub.

Kemudian dilakukan prosesi mencuci atau mijiki kaki petinggi dengan air kembang setaman oleh semua perangkat desa. Ini merupakan gambaran simbolis penghormatan kepada Ratu Kalinyamat pada masa lalu yang diberikan oleh para pimpinan padukuhan.

Namun dalam perkembangannya ritual ini sebagai lambang agar petinggi dalam memimpin desa selalu bersih sikap dan tindakannya. Juga agar masyarakat dijauhkan dari malapetaka dan gangguan. "Kami berharap melalui ritual pencucian kaki petinggi tersebut, desa Tulakan bersih dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh pemerintah dan agama," tuturnya.

Usai kirab Jembul, dilanjutkan dengan selamatan sebagai ungkapan syukur dan doa kepada Tuhan agar masyarakat senantiasa hidup dalam ketentraman dan kesejahteraan. Juga ucapan syukur atas segala rejeki yang diberikan di sepanjang tahun.

Ritual berikutnya setelah itu adalah prosesi mengelilingi jembul sebanyak tiga kali putaran oleh petinggi disertai dengan perangkat desa dan para penari tayub. Penari tayub ini melambangkan Nyi Roro Kuning, istri Ki Demang Barata yang sudah mendampingi Ki Demang dan mengelola harta Kademangan dengan baik.

Ritual ini sebagai lambang bahwa istri petinggi harus bisa menjadi pendamping suami dalam memimpin desa serta perlambang seorang petinggi atau perangkat harus senantiasa berada di tengah-tengah masyarakat yang dipimpinnya.

Setelah dilakukan inti dari upacara Jembul Tulakan, maka sebagai penutup dilakukan resikan yaitu kegiatan membersihkan tempat yang telah dipakai untuk melakukan Upacara. Aktivitas ini dilakukan oleh warga masyarakat desa Tulakan secara beramai-ramai. Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk pengusiran terhadap penyakit-penyakit dan kejahatan-kejahatan di Desa Tulakan.

455