Jakarta, Gatra.com - Komisioner Komnas Perempuan Periode 2015-2019, Saur Tumiur Situmorang, menegaskan, pentingnya perempuan diikutsertakan saat membicarakan tata kelola kehutanan. Hal ini karena dalam tatanan kehidupan masyarakat adat, perempuan memegang peran sebagai penyedia pangan bagi keluarga dan komunitas. Artinya, perempuan secara langsung menjadi penjaga kesehatan bagi komunitas hutan adat.
"Kalau hutannya beralih fungsi maka perempuan menjadi tercerabut dari sumber-sumber kehidupan," ucap Saur dalam Diskusi Publik Inkuiri Adat oleh Komnas HAM di Jakarta, Senin (5/6)
Selama ini, pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan sangat jarang melibatkan perempuan. Apalagi dengan kenyataan bahwa tokoh-tokoh adat masih didominasi oleh pria.
Pengambilan lahan, baik diserahkan atau peralihan lahan hutan adat, baik berupa peralihan izin kepada perusahaan atau pengambilan secara sepihak oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tidak diberitahukan kepada masyarakat adat. Hal ini menimbulkan masalah-masalah tambahan.
"Perempuan tidak tahu batas-batasnya [wilayah hutan], dia pergi ke sana kemudian di kriminalisasi. Mereka mengalami kekerasan dari aparat di daerah," jelas Saur.
Mantan Komisioner Komnas Perempuan ini menjelaskan, ada beberapa hak yang dilanggar oleh peralihan hutan adat ini. Salah satu yang paling sering dilanggar adalah hak atas keamanan karena ketika terjadi konflik, perempuan adat rentan mengalami kekerasan, baik fisik ataupun seksual.
Menurutnya, hak atas sumber kehidupan juga terdampak karena masyarakat adat tidak lagi bisa mengakses pangan atau obat-obatan yang biasa mereka dapatkan dari hutan.
"Banyak perempuan mengalami kemiskinan struktural. Karena tidak bisa lagi mengolah hutan, anak-anak mereka tidak bisa sekolah," ucap Saur.
Ia mengatakan, anak perempuan sangat rentan menjadi yang pertama "dikorbankan" jika keluarga tidak bisa menyekolahkan anak-anaknya. Hal ini pun bisa mengakibatkan kenaikan angka pernikahan dini pada anak perempuan adat.
Banyak perempuan adat yang terpaksa beralih profesi karena tidak bisa lagi mengelola hutan. Tidak sedikit yang akhirnya menjadi petani, buruh industri, dan pekerja migran. Sayangnya, ada juga yang terpaksa menjadi pekerja seks.
"Di tempat-tempat baru itu, mereka mengalami kekerasan baru," ujar Saur.