Home Lingkungan Penderitaan Rakyat akibat Tambang Pasir Laut yang Kini Dilegalkan Pemerintah

Penderitaan Rakyat akibat Tambang Pasir Laut yang Kini Dilegalkan Pemerintah

Batam, Gatra.com - Pemerintah Joko Widodo resmi melegalkan ekspor pasir laut ke luar negeri melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 tahun 2023 tentang pengelolaan sedimentasi di laut. Padahal, praktik tersebut, sempat lama dihentikan sejak tahun 2003 lantaran negara sadar dampak dan akibat yang ditimbulkan.

Restu pemerintah tersebut, mencakup izin pengerukan hingga ekspor pasir laut ke luar negeri. Kebijakan itu dinilai menjadi momok bagi warga pesisir dan nelayan setempat. Dampak yang ditimbulkan dari aktifitas pengerukan pasir laut sangat nyata, seperti hilangnya Pulau Sebatik dan menciutnya daratan Pulau Nipah di Kecamatan Belakangpadang, Batam, Kepri.

Satu nelayan di Kelurahan Pulau Terong, Kecamatan Belakangpadang, Batam, Kepri Herman mengatakan, mayoritas nelayan ditempatnya menolak aktifitas pengerukan pasir laut. Terbitnya (PP) Nomor 26 tahun 2023, menurutnya akan mengulang sejarah kelam tentang dampak dari aktifitas pengerukan pasir laut nantinya.

Baca Juga: Menteri KKP Trenggono Sebut Pengerukan Pasir Laut DIprioritaskan untuk Reklamasi & Penataan IKN

"Dulu kami dengan adanya aktifitas pengerukan pasir laut, sempat mendapatkan dana bantuan dari para pengusahan atau perusahaan tambang pasir laut. Namun besaran materi yang diberikan tak sebanding dengan apa yang ditimbulkan. Ibarat kata kami lebih memilih biota laut tetap terjaga dari pada diberi intan dan permata," katanya, di Belakangpadang, Batam, Minggu (4/6).

Herman bercerita, pengerukan pasir laut di perairan sekitar Batam, Kepri sudah terjadi sejak lama. Hasilnya diekspor ke Singapura, pengerukan pasir laut di perairan Batam yang sangat merusak akan terulang kembali. Air laut pasti keruh, lokasi tangkapan ikan nelayan dipastikan berangsur musnah.

"Seingat saya dulu saat nelayan sedang menangkap ikan, kerap berpapasan dengan kapal bawa pasir ke jiran, dapat dikatakan sebagian daratan Singapura bertambah dari reklamasi hasil ekpor pasir laut di Kepri. Mungkin dampak kerusakan lingkungan perairan dapat  mengancam mata pencaharian nelayan," terangnya.

Baca Juga: DFW: PP 26 Tahun 2023 untuk Bersihkan Laut Tak Masuk Akal

Wakil Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kepulauan Riau Eko Fitriadi menilai, perlu mengkaji ulang dari sisi ekonomi dan dampak kerusakan lingkungan, tidak boleh mengancam mata pencairan nelayan. Zona eksploitasi harus jauh dari titik tangkapan nelayan. Kebijakan itu sebenarnya diklaim baik untuk menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD).

"HNSI setuju kebijakan itu diterbitkan dengan syarat, penanganan dampak lingkungannya harus mengikuti kemauan masyarakat nelayan dan sesuai kajian akademis. Pemerintah harus masif sosialisasi, meredam gejolak ditengah masyarakat dengan mengajak diskusi dan beri pemahaman dengan menampung aspirasi dan tunaikan aspirasi tersebut," ujarnya.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Daerah Riau/Kepri Boy Jerry Even Sembiring mengatakan, kebijakan yang dikeluarkan pemerintahan Presiden Joko Widodo bertentangan dengan komitmennya terhadap perlindungan ekosistem laut, wilayah pesisir, dan gugusan pulau kecil.

Dalam konteks perubahan iklim, PP itu akan semakin memperparah ancaman terhadap keselamatan lingkungan dan masyarakat yang berada di wilayah pesisir dan pulau kecil. Terbitnya PP menunjukkan pemerintah lebih memperlihatkan keberpihakannya kepada kepentingan ekonomi, khususnya pebisnis skala besar.

Baca Juga: Kejati Sulsel Sita Uang Rp482 Juta terkait Korupsi Pasir Laut

"Dalam konteks perubahan iklim, jelas ancaman naiknya permukaan air laut akan diperparah dengan abrasi dan intrusi dari aktivitas ekstraktif ini. Terkait kedaulatan negara, kebijakan Jokowi memperlihatkan betapa negara abai pada konteks batas negara yang akan berkurang apabila bibir pantai pulau terluar tergerus dengan kebijakan tambang pasir," tegasnya.

Boy bertanya-tanya, kebijakan ini apakah terkait dengan kepentingan pendanaan sejumlah kelompok usaha pada Pemilu 2024 mendatang. Hal itu, akan terjawab pada perizinan yang aktif melakukan aktivitas ini. Tapi belajar dari pengalaman sebelumnya, terdapat fakta ada lonjakan jumlah perizinan hutan dan kebun di diterbitkan pemerintah pada tahun politik.

543