Jakarta, Gatra.com – Detructive Fishing Watch (DFW) Indonesia menilai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Sedimentasi Laut merupakan kebijakan salah kaprah soal sedimentasi laut. DFW mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencabut PP tersebut.
Koordinator Nasional DFW Indonesia, Mohamad Abdi Suhufan, dalam keterangan pers, Sabtu (3/6), mengatakan, kebijakan tersebut salah di saat ini Indonesia mengalami ancaman perubahan iklim, di antaranya kenaikan muka air laut sebesar 0,3–7 cm per tahun.
Baca Juga: DFW: PP 26 Tahun 2023 untuk Bersihkan Laut Tak Masuk Akal
“Ada juga ancaman abrasi pantai di wilayah Kalimantan, Kepulauan Riau dan Utara Jawa rata-rata 1–10 meter per tahun,” ujarnya.
Pada sisi lain, lanjut Abdi, bumi mempunyai mekanisme tersendiri untuk beradaptasi dan mencari titik keseimbangan. Di beberapa tempat terdapat material sedimentasi yang terbentuk dari akumulasi pasir dan sebagian gosong pasir karena hasil dan akumulasi proses pengangkatan dasar laut.
DFW menilai, jika ini yang dianggap sebagai hasil sedimentasi dan kemudian menjadi lokasi pembersihan atau pengerukan dengan alasan pengelolaan hasil sedimentasi maka dipastikan akan menyebabkan abrasi pantai yang makin meningkat dan kerugian lingkungan.
“Jika terjadi abrasi, biaya pemulihan lingkungan menjadi harga yang sangat mahal, yakni mencapai Rp 6 juta per meter,” katanya.
Kebijakan tersebut tidak sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Dari segi kebutuhan dan prioritas, PP 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut untuk kebutuhan pembangunan dan ekspor saat ini sangatlah tidak tepat.
“Mengingat selama ini Indonesia cukup aktif mempromosikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, Pembangunan Berkelanjutan, Blue Economy, Konservasi dan Rehabilitasi Ekosistem, Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim,” ujarnya.
Publik meragukan bahwa pengelolaan hasil sedimentasi laut hanya “cover” tapi terdapat maksud lain, yaitu upaya melakukan pengambilan pasir di laut yang merupakan kegiatan ekstratif untuk meraup pendapatan jangka pendek.
“[Kebijakan itu] juga mengindikasikan perspektif tata kelola jangka pendek dan lemahnya kapasitas serta strategi mengelola sumberdaya kelautan dan perikanan,” ujarnya.
DFW menilai bahwa keuntungan jangka pendek tidak akan sebanding dengan kerusakan dan masalah yang didatangkan, termasuk ancaman abrasi dan tenggelamnya pulau, kekeruhan dan terganggunnya ekosistem dan biodiversity, potensi konflik dan terganggunya aktifitas mata pencaharian nelayan dan masyarakat sekitar.
DFW juga menilai beleid yang dikeluarkan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) tersebut juga merupakan akibat lemahnya pengendalian pembangunan di daratan. Pengelolaan hasil sedimentasi laut semestinya adalah upaya untuk mengurangi dampak proses sedimentasi di laut agar tidak menurunkan daya dukung dan daya tampung ekosistem pesisir dan laut.
Oleh karena itu, yang harus dikelola dan kendalikan adalah bukan hasil sedimentasinya, tapi yang menyebabkan atau sumber sedimentasi tersebut, yakni aktivitas dari hulu, terutama kegiatan penambangan, perkebunan dan pembangunan reklamasi pesisir.
“Memperbaiki dan membersihkan bagian hilir tanpa perbaikan di hulu akan menjadi pekerjaan yang sia-sia. Sebab, sedimentasi akibat pembangunan didaratan akan terus terjadi. Upaya untuk membersihkan laut akan jauh panggang dari api,” ujarnya.
Baca Juga: Menteri KKP Trenggono Sebut Pengerukan Pasir Laut DIprioritaskan untuk Reklamasi & Penataan IKN
Atas dasar itu, DFW Indonesia mendesak Presiden Jokowi mencabut dan membatalkan Peraturan Pemerintah No 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut.
“Pencabutan ini didasari karena landasan, latar belakang, kebutuhan, dampak, dan tujuan penerbitan PP ini tidak memenuhi aspek dan kaidah hukum, kebijakan publik, pertimbangan dan dampak lingkungan, ekologi, sosial, dan ekonomi,” katanya.