Jakarta, Gatra.com – Detructive Fishing Watch (DFW) Indonesia menilai perbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Sedimentasi Laut yang ditekan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membuka keran penambangan dan ekspor pasir laut.
Koordinator Nasional DFW Indonesia, Mohamad Abdi Suhufan, dalam keterangan pers diterima pada Sabtu (3/6), mengatakan, pihaknya menduga kuat beleid menjadi landasan bagi pemerintah untuk membuka keran penambangan dan ekspor pasir laut yang sudah dihentikan sejak tahun 2003.
Baca Juga: Menteri KKP Trenggono Sebut Pengerukan Pasir Laut DIprioritaskan untuk Reklamasi & Penataan IKN
“Penerbitan PP 26 Tahun 2023 merupakan salah satu praktik pembentukan kebijakan yang tidak bijak atau imprudent policy,” katanya.
Abdi menjelaskan, pihaknya menilai demikian atas beberapa dasar, pertama; rapuhnya landasan penyusunan PP 26 Tahun 2023. Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan bahwa sebuah peraturan diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang “diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi” dan “dibentuk berdasarkan kewenangan”.
“Dalam konsideran PP 26 Tahun 2023 disebutkan, selain Pasal 5 Ayat (2) UUD 1945, satu-satunya rujukan PP adalah UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan,” ujarnya.
Merujuk pada berbagai konsiderans tersebut, lanjut dia, tidak ada satu pun di antaranya yang memerintahkan penerbitan peraturan pemerintah untuk melakukan peningkatan kesehatan laut dengan cara-cara yang merusak lingkungan.
“Jika ditelaah lebih jauh dalam Pasal 27 Undang-Undang No 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, untuk mengelola ekosistem pesisir dan laut yang ditujukan untuk pemulihan dari kerusakan lingkungan,” katanya.
Sedangkan PP yang secara spesifik mengatur soal hasil sedimentasi laut bukanlah kebutuhan dalam upaya memulihkan kerusakan lingkungan. Dengan demikian, kebijakan ini dibuat tanpa prinsip dasar dan tujuan yang jelas bagi lingkungan dan ekosisitem laut.
Kedua, kebijakan tanpa data dukung dan kajian teknis. Selain berdasarkan pada perintah undang-undang, pembentukan PP haruslah didasarkan pada tahapan kajian yang lengkap dan tranparan. Namun, hingga saat ini publik tidak dapat mengakses laporan, dokumentasi kajian, notulensi, dan bukti ilmiah (kajian akademis) yang menggambarkan proses dan hasil yang memuat justifikasi hukum, sosial, lingkungan, dan ekonomi atas terbitnya kebijakan ini.
“Narasi pemerintah bahwa PP 26 Tahun 2023 adalah upaya untuk pembersihan laut dari sedimentasik merupakan hal yang tidak masuk akal,” katanya.
Sebab, lanjut Abdi, sejauh ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) belum mempunyai data dan informasi tentang lokasi, potensi dan nilai hasil sedimentasi laut. Secara serampangan, KKP menyebut angka 23–24 miliar kubik potensi sedimentasi di laut yang bisa dimanfaatkan, padahal belum ada survei, penelitian, laporan ilmiah yang menjelaskan hal tersebut.
“Artinya, tidak mungkin instrumen aturan pembersihan dapat dibuat tanpa data awal, urgensi, kebutuhan dan atau situsi mendesak yang mengharuskan hal ini segera dilakukan dan merupakan satu-satunya opsi kebijakan,” katanya.
Abdi mengungkapkan, sedimentasi laut yang diakibatkan oleh aktvitas oseanografi sejauh ini tidak signifikan menghasilkan substrat pasir untuk dimanfaatkan bagi kegiatan pembangunan, termasuk reklamasi. Sedimentasi yang terjadi selama ini lebih dominan berasal dari daratan dan berbentuk lumpur.
Ketiga, sejarah kelam masa lalu ekspor pasir laut. Momentum, maksud dan tujuan penerbitan PP 26 Tahun 2023 sangat tidak tepat. PP 26 Tahun 2023 seakan menarik mundur bandul sejarah setelah 20 tahun lalu. Ketika itu, Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Rini Sumarno, menghentikan ekspor pasir laut melalui SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut.
“Penghentian tersebut disebabkan karena implikasi yang muncul dari kegiatan ekspor pasir laut telah menyebabkan kerusakan lingkungan pantai dan pesisir, abrasi, tenggelam, dan hilangnya pulau kecil,” ujarnya.
Baca Juga: Kejati Sulsel Sita Uang Rp482 Juta terkait Korupsi Pasir Laut
Pulau-pulau yang raib itu, lanjut dia, khususnya di pulau terluar-perbatasan Indonesia serta buruknya aspek tata kelola yang menimbulkan permasalahan hukum. Artinya, penerbitan PP 26 Tahun 2023 saat ini dilakukan tanpa melakukan evaluasi atas kebijakan pelarangan ekspor pasir laut sebelumnya, implikasi yang muncul dan penolakan publik dalam beberapa hari terakhir ini.
Alasan keempat, ketidakaan urgensi dan tidak sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Kelima, salah kaprah sedimentasi laut, dan keenam, sedimentasi akibat lemahnya pengendalian pembangunan di daratan.