Jakarta, Gatra.com – Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat ada 22 kasus kekerasan di satuan pendidikan sepanjang 5 bulan pertama di tahun 2023. Puluhan kasus kekerasan seksual itu terjadi di 18 kabupaten/kota di 8 provinsi di Indonesia. Ada 13 modus yang dilakukan pelaku.
"Wilayah kejadian berada di 8 provinsi dan 18 kabupaten/kota dengan rincian kabupaten/kota sebagai berikut. Provinsi Lampung, [yakni di] Kabupaten Mesuji, Lampung Tengah, Lampung Selatan, Lampung Utara, dan Lampung Barat; Provinsi Jawa Tengah [di] Kabupaten Batang, Kota Semarang dan Kabupaten Banyumas; Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta [di] Kabupaten Gunung Kidul dan Sleman," kata Retno Listyarti dalam keterangannya, Sabtu (3/6).
Tak hanya itu, FSGI juga mencatat adanya kekerasan di satuan pendidikan yang terjadi di Provinsi Jawa Timur, tepatnya di Kabupaten Jember, Kota Surabaya, dan Kabupaten Trenggalek. Sementara itu, ada pula kasus serupa yang terjadi di wilayah Jakarta Timur serta wilayah Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu.
Baca Juga: FSGI: Dalam 5 Bulan, Korban Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan Capai 202 Anak
Selain itu, kasus kekerasan seksual juga terjadi di dua kota di Provinsi Sulawesi Selatan, yakni Kota Pare Pare dan Kota Makassar. Ada pula kasus serupa yang terjadi di daerah Labuhanbatu Utara, Provinsi Sumatera Utara.
FSGI mencatat, jumlah korban dalam puluhan kasus tersebut mencapai 202 anak atau peserta didik. Setidaknya, ada 13 macam cara yang menjadi modus pelaku dalam melancarkan tindakan kejinya pada korban. Ke-13 modus itu antara lain:
1. Dibujuk agar mendapatkan berkah dari Tuhan oleh pelaku yang pemilik pondok pesantren
2. Valuasi pembelajaran di dalam ruang Podcast Ponpes pada pukul 23.00 WIB kemudian dicabuli
3. Diiming-imingi uang dan jajanan oleh pelaku
4. Lapor dilecehkan teman sekolah ke kepala sekolah, namun malah dicabuli kepala sekolah di ruang Unit Kesehatan Sekolah (UKS) dengan dalih memeriksa dampak pelecehan yang dilaporkan
5. Guru kelas menyentuh pinggang dan dada, siswinya melawan, namun guru tersebut malah mengulanginya
6. Guru agama memeriksa PR seorang siswi dengan posisi siswi dipangku dan diminta agar kakinya dalam posisi terbuka
7. Pelaku bukan guru, yang bersangkutan berkenalan dengan anak korban melalui media sosial, lalu dimasukkan korban ke grup WhatsApp teman sekolahnya, pelaku melakukan video call, mengirimi video tak senonoh dan melakukan kekerasan seksual berbasis daring terhadap 22 siswi sekolah dasar (SD) dari sekolah yang sama
8. Korban diberi uang dan diajak ke kantin, lalu dilecehkan
9. Menutup wajah korban dengan handuk saat pembelajaran terkait materi indera perasa, pelaku kemudian cabuli korban
10. Saat bertindak sebagai pembina dalam kegiatan Masa Bimbingan Fisik dan Mental (Madabintal) peserta didik baru di bumi perkemahan, pelaku mencabuli 3 siswi yang merupakan kawan 1 kelompok di salah satu pos jaga
11. Pelaku berpura-pura menikahi korban secara siri tanpa wali maupun saksi nikah, setelahnya pelaku melakukan kekerasan seksual kepada para santriwatinya dengan dalih sudah suami-istri
12. Pelaku berdalih menghukum korban karena melakukan pelanggaran saat proses pembelajaran
13. Pelaku berdalih bahwa anak-anak korban sudah biasa memeluk dan menciumi sebagai ganti salim atau jabat tangan
Oleh karena maraknya kekerasan seksual di satuan pendidikan itu, FSGI pun mendorong Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI untuk melakukan perubahan terhadap Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan, khususnya merinci apa saja perilaku di sekolah yang termasuk kekerasan seksual.
Selain itu, FSGI juga mendorong Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) RI untuk terus melakukan sosialisasi, juga memberlakukan hotline Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 atau Whatsapp 08111-129-129 untuk melaporkan kekerasan seksual yang dialami dan mendorong pembentukan sekolah-sekolah ramah anak.
FSGI juga mendorong Kementerian Agama (Kemenag) RI untuk melakukan sosialisasi dan implementasi kebijakan PMA No. 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual di Madrasah dan Pondok Pesantren atau Satuan Pendidikan di bawah Kewenangan Kemenag.
Dorongan itu diberikan FSGI, mengingat kasus kekerasan seksual yang terjadi di satuan pendidikan di bawah Kemenag Ri terbilang lebih tinggi dibanding angka kekerasan seksual yang terjadi di satuan pendidikan di bawah Kemendikbudristek.
Baca Juga: Polres Labuhanbatu Bentuk Satgas Pemulihan Anak Korban Kekerasan Seksual
Tak hanya itu, FSGI juga mendorong Dinas Pendidikan dan Kantor Kemenag di setiap Kabupaten/Kota/Provinsi untuk bekerja sama dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di daerah, seperti Dinas PPPA dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) di setiap wilayah, dalam penanganan psikologi anak-anak korban kekerasan seksual. Pasalnya, guru bimbingan konseling (BK) tidak ada di jenjang pendidikan sekolah dasar.
"FSGI juga mendorong pemerintah daerah untuk melakukan Kerja sama dengan perguruan-perguruan tinggi di wilayahnya yang memiliki Fakultas Psikologi untuk membantu pemulihan psikologi anak-anak korban kekerasan seksual," ucap Retno.
"Mengingat, proses pemilihan psikologi anak korban KS [Kekerasan Seksual] umumnya membutuhkan waktu pemulihan yang cukup panjang dan harus tuntas," ujarnya.