Jakarta, Gatra.com – Pegiat Hak Asasi Manusia (HAM), Suciwati, menilai janji pemerintah untuk menuntaskan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat masa lalu dan menyeret pelaku ke pengadilan adalah gombalan belaka.
Istri mendiang aktivis HAM, Munir Said Talib, ini menyampaikan pernyataan tersebut dalam diskusi publik bertajuk “Telaah Kritis RUU TNI dalam Prospektif Politik, Hukum, dan Keamanan” gelaran YLBHI, LBH Pos Malang, dan Imparsial bekerja sama dengan FH Unibraw yang dihelat secara daring pada Rabu (31/5),
Ia menyampaikan, pelanggaran HAM berat masa lalu atau pada era Orde Baru (Orba), hingga 25 tahun era Reformasi banyak yang belum diselesaikan oleh pemerintah, termasuk pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).
Alih-alih menyelesaikan pelanggaran HAM berat dengan menyerat para pelakunya ke pengadilan HAM untuk diadili, kata dia, pemerintah malah memasukkan sejumlah pelakunya ke dalam kekuasaan.
“Ketika para orang-orang yang harusnya dipenjara, dibawa ke pengadilan, tapi kemudian malah dimasukkan di ruang-ruang kekuasaan,” katanya.
Begitupun soal penghapusan kiprah militer dalam pemerintahan sipil yang menjadi salah satu tuntutan Reformasi tahun 1998 juga belum tercapai. “Kita melihatnya bagaimana, kayaknya tidak kembali ke barak,” ujarnya.
“Masyarakat sipil yang selama ini kritis, tapi seringkali ketika dia menjadi penguasa atau pejabat, dia kemudian menarik-narik militer ke ruang jabatan publik atau sipil,” ujarnya.
Kembali ke soal penuntasan kasus HAM berat masa lalu, Jokowi ketika berkampanye menjadikan ini sebagai salah satu agenda penting. Namun setelah mendapuk kekuasaan hingga di penghujung masa kekuasaannya yang kedua, belum merealisasikan janjinya.
“Ketika Jokowi bawa jargon HAM untuk diselesaikan kasusnya, apa yang ada, eh mau selesai [masa pemerintahan] baru ngomongin selesai membentuk tim nonyudisial penyelesaian kasus HAM berat,” kata dia.
Lantas apa hasil dari tim nonyudisial tersebut, kata Suciwati, tidak ada. Malahan yang ada hanya memecahbelah korban, salah satunya negara hanya mengakui adanya korban dari pelanggaran HAM berat tersebut.
“Jadi enggak ngurusin pelaku. Korban itu adanya karena apa? Itu enggak penting buat negara ini, Presiden terutama, pejabat negaranya ada Mahfud MD yang membuat tim ini,” ujarnya.
Suciwati melanjutkan, selain pemerintah menganggap tidak penting mengusut pelaku HAM berat masa lalu, juga bukannya menyampaikan permintaan maaf kepada korban dan keluarganya.
“Alih-alih mohon maaf, enggak ada. Cuman mengakui saja ada kasus pelanggaran HAM berat dan itu ada 12 [peristiwa]. Padahal lebih dari itu,” katanya.
Ia yakin bahwa pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu akan selamat dari pertanggungjawaban hukum. Pasalnya, bukannya menyeret mereka ke pengadilan, pemerintah malah memasukkannya ke dalam kekuasaan. “Saya yakin enggak akan pernah selesai," katanya.
Pemerintah hanya meminta pandangan dari masyarakat sipil, akademisi, aktivis, dan pihak lainnya. Upaya itu kemudian dilegitimasi bahwa seolah-olah pemerintahan telah melakukan sesuatu yang sangat berarti terkait pelanggaran HAM berat.
“Di kasus Munir misalkan, kan sudah ada yang dipenjara, dalangnya enggak penting. Yang penting sudah ada yang dipenjarakan,” katanya.
Suciwati menyampaikan, karena kerap dijadikan legitimasi, ia pun memilih tidak menghadiri undangan yang dilayangkan oleh Presiden.
“Saya tidak pernah datang ketika diminta ketemu oleh Presiden karena itu menjadi legitimasi dia ke dalam, bahwa saya sudah diterima dan saya dalam kasus Munir akan diselesaikan. Itu mah gombal buat saya, enggak ada itu, nothing,” ucapnya.