Jakarta, Gatra.com - Pengaturan pidana mati dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 (UU 1/2023) tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memantik beragam respons dari para praktisi hukum dan akademisi.
Sebagai informasi, UU 1/2023 memberlakukan transformasi pengaturan pidana mati dengan memperkenalkan skema “masa percobaan” dalam vonis pidana mati. Melalui masa percobaan, terpidana mati yang berkelakuan baik dapat dijadikan pidana penjara seumur hidup melalui Keputusan Presiden.
Praktisi Hukum, Todung Mulya Lubis mengapresiasi kehadiran masa percobaan sembari menegaskan perlunya penghapusan penuh pidana mati.
“Walaupun pidana mati harus dihapus, kita tetap harus mengamankan hak-hak terpidana mati yang sudah tertulis dalam KUHP baru,” ujar pengacara dan pegiat HAM senior ini saat membuka focus group discussion (“FGD”) yang diselenggarakan di Yogyakarta beberapa waktu lalu, dengan topik “Pekerjaan Rumah Pemerintah dan Pengadilan untuk Pidana Mati dalam KUHP Baru” yang dihadiri oleh para pemangku kepentingan dan akademisi.
Disampaikan Todung, mestinya ketentuan tersebut dapat diterapkan dari dulu sehingga ada kesempatan kedua bagi terpidana mati.
“Seandainya ketentuan masa percobaan ini sudah ada dari dulu, saya cukup yakin akan ada kesempatan kedua bagi terpidana mati," ucap Todung dikutip, Jumat (26/5).
Sampai saat ini, harus diakui, belum ada satu suara mengenai bagaimana “masa percobaan” ini akan diterapkan dan apakah sifatnya wajib.
Sementara itu, guru besar hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Marcus Priyo Gunarto menilai bahwa rumusan Pasal 100 ayat (1) UU 1/2023 tidak mewajibkan hakim untuk memberikan masa percobaan jika menjatuhkan pidana mati.
“Pasal 100 ayat (1) menekankan kondisi yang harus dipertimbangkan oleh hakim dalam menjatuhkan masa percobaan, yaitu ada tidaknya penyesalan atau signifikan tidaknya peran dari terdakwa. Selain itu, masa percobaan ini harus dicantumkan dalam putusan pengadilan,” ujar Marcus, yang juga Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM.
Pidana mati dengan masa percobaan itu, ucap Marcus Priyo, bukan jenis pidana atau strafsoort tetapi merupakan pelaksanaan pidana atau strafmodus. Artinya jenis pidana yang dikenal adalah pidana khusus yaitu pidana mati—bukan pidana mati dengan masa percobaan.
Pandangan Prof. Marcus berbeda dengan penjelasan dalam rapat kerja Komisi III DPR RI yang menyepakati bahwa masa percobaan wajib disertakan dalam vonis pidana mati dalam rumusan Pasal 100 ayat (1) UU 1/2023.
Hal ini juga dikemukakan oleh Anggota Komisi III DPR Taufik Basari dalam FGD. Taufik Basari menegaskan bahwa masa percobaan dalam Pasal 100 ayat (1) UU 1/2023 memang bersifat otomatis.
“Original intent dari rumusan Pasal 100 ayat (1) KUHP baru adalah seluruh pidana mati wajib disertai dengan masa percobaan. Hal ini juga konsisten dengan penjelasan Pasal 98 KUHP baru,” ucap Taufik.
Penjelasan Pasal 98 UU 1/2023 menekankan bahwa salah satu sifat khusus dari pidana mati adalah ia dijatuhkan dengan masa percobaan sebagai upaya untuk memperbaiki diri agar eksekusi tidak perlu dilaksanakan dan diganti menjadi pidana penjara seumur hidup.
Taufik Basari juga menerangkan bahwa selain mewajibkan masa percobaan Pasal 100 ayat (1) UU 1/2023 juga mengatur syarat bagi hakim dalam penjatuhan pidana mati, yaitu, “Penyesalan dan peran terdakwa merupakan syarat bagi hakim untuk menjatuhkan pidana mati. Jika pidana mati dijatuhkan, maka harus dicantumkan juga masa percobaannya,” katanya.
Kedua perbedaan tafsir ini menunjukkan sumirnya pengaturan pidana mati dengan masa percobaan dalam Pasal 100 UU 1/2023.
Hal ini juga disetujui oleh Ketua Pengadilan Negeri Yogyakarta, Muh. Djauhar Setyadi yang mengkhawatirkan potensi permasalahan dalam rumusan UU 1/2023.
“Pasal 100 ayat (1) KUHP baru menimbulkan kebingungan, khususnya frasa ‘dengan memperhatikan’. Hal ini justru akan menimbulkan keraguan bagi hakim jika hendak menerapkannya,” ucap Djauhar.
Djauhar juga menilai bahwa penilaian sikap dan kelakuan terpidana mati yang diatur pada Pasal 100 ayat (4) UU 1/2023 perlu melibatkan peran dari lembaga yudikatif, khususnya hakim pengawas dan pengamat.
“Perlu ada checks and balances di dalam format baru ini. Misalnya saja dengan melibatkan Hakim wasmat (pengawas dan pengamat) dalam penyusunan pertimbangan Mahkamah Agung. Namun perlu ada pengaturan lebih lanjut mengenai Hakim wasmat tersebut, bukan sebagaimana pengaturan saat ini,” ujar Djauhar.
Pandangan lain dikemukakan oleh Adnan Pambudi dari Ikatan Advokat Indonesia Cabang Yogyakarta yang menganggap permasalahan ini lahir karena Indonesia belum menghapus pidana mati secara total.
“Problema ini lahir karena ketidaktegasan politik hukum pidana mati di Indonesia. Karena masih setengah-setengah malah menjadi masalah dalam sistem hukum kita,” kata Adnan.
Penghapusan pidana mati secara total juga disuarakan oleh Eko Riyadi dari Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia. Menurut dia, masyarakat internasional sudah beranjak dari paradigma yang masih memperbolehkan pidana mati.
Eko merujuk pada Pasal 6 ayat (2) dari Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (Kovenan Hak Sipol)—yang telah diratifikasi oleh Indonesia di tahun 2005—yang memperbolehkan negara untuk menerapkan pidana mati pada kejahatan paling serius (most serious crime) berdasarkan putusan pengadilan.
Menurut Eko, ketentuan Kovenan Hak Sipol adalah traktat internasional yang dibentuk dengan iklim politik tahun 1966.
Kata dia, seandainya (Kovenan Hak Sipol) disusun sekarang, sudah pasti ICCPR (Terj. Kovenan Hak Sipol) tidak akan memperbolehkan pidana mati dengan alasan apa pun.
Eko mendorong Indonesia untuk segera meratifikasi Protokol Pilihan Kedua dari Kovenan Hak Sipol mengenai penghapusan total pidana mati.