Home Kolom Transparansi Laporan Berkelanjutan Penting untuk Pengembangan Perusahaan di Indonesia

Transparansi Laporan Berkelanjutan Penting untuk Pengembangan Perusahaan di Indonesia

Peran Transparansi Laporan Keberlanjutan dalam Pengembangan Perusahaan Indonesia

Petra Christi*

 

 

Negara-negara di kawasan Asia-Pasifik semakin menyempurnakan kerangka regulasi mengenai keberlanjutan perusahaan untuk memperkuat transparansi laporan keberlanjutan dan mempromosikan integritas perusahaan. Namun, respon dari beberapa perusahaan dan regulator keuangan di kawasan Asia Tenggara nyatanya cukup lambat, termasuk di Indonesia.

Sementara itu, berbagai kerangka kerja dan standar yang bersifat sukarela yang komprehensif sudah jamak diterapkan di seluruh dunia. Bisa dikatakan bahwa partisipasi tidak lagi menjadi pilihan, namun telah menjadi suatu kebutuhan.

Di sisi lainnya, elemen-elemen transparansi dari konsep lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) semakin didorong dan ditegakkan untuk menjadi syarat pelaporan keberlanjutan oleh pembuat kebijakan di Asia-Pasifik.

Beberapa dari kebijakan tersebut mencakup kerangka kerja dari beberapa institusi, seperti: The Global Reporting Initiative (GRI); Sustainability Accounting Standard Board (SASB); dan Task Force on Climate-related Financial Disclosures (TCFD). Kerangka kerja ini berfokus pada pembentukan pedoman dan prinsip yang terkait dengan aspek kunci dari ESG dan keberlanjutan perusahaan secara keseluruhan.

Meskipun, Indonesia telah melakukan beberapa upaya untuk menetapkan beberapa kebijakan terkait keberlanjutan dan ESG, namun peningkatan integritas keberlanjutan perusahaan masih diperlukan. Kebutuhan ini tercermin pada beberapa pertanyaan yang diajukan oleh publik ketika mengevaluasi peraturan tersebut seperti: bagaimana kebijakan ini menciptakan peluang dalam meningkatkan integritas dan pengungkapan yang berkelanjutan secara keseluruhan; dan bagaimana kebijakan tersebut bisa menjadi lebih efektif.

Peta Jalan Keuangan Berkelanjutan Indonesia

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menetapkan peta jalan keuangan berkelanjutan dalam dua tahap (2015-2019 dan 2021-2025). Peta jalan ini berfungsi sebagai dasar bagi pembuat kebijakan untuk mengembangkan lebih lanjut kerangka peraturan keuangan berkelanjutan yang mengikat, mekanisme transparansi laporan keuangan terkait iklim yang melampaui laporan keberlanjutan, instrumen/insentif keuangan, dan lingkungan yang memungkinkan untuk tindakan perusahaan serta pengungkapan.

Peta jalan tersebut memaparkan inisiatif dan penciptaan peluang tingkat tinggi untuk mempromosikan kolaborasi antara kementerian dan lembaga melalui penciptaan mekanisme keuangan berkelanjutan. Beberapa inisiatif itu termasuk di antaranya Peraturan Nomor 60/POJK.04/2017 tentang Penerbitan dan Persyaratan Green Bond, dan infrastruktur pertukaran karbon.

Namun, absennya mandat indikator utama terkait iklim dapat mempengaruhi transparansi kegiatan pengurangan emisi korporasi beserta tingkat integritas kinerjanya.

Hal tersebut sangat penting mengingat mulai munculnya kewaspadaan publik mengenai greenwashing. Reputasi perusahaan tentu akan menjadi taruhan ketika informasi yang diungkapkan tidak mencerminkan risiko dan dampak keberlanjutan yang mendasarinya secara tepat.

Saat ini, hanya segelintir bank yang mengakui dampak lingkungan dan sosial terkait dengan penyediaan produk keuangan mereka. Secara umum, masih terdapat kekurangan penilaian tentang risiko terkait iklim. Kekurangan ini didapatkan melalui analisis skenario yang mengukur tingkat paparan bank ke risiko fisik dan transisi terkait iklim, serta dampaknya terhadap stabilitas keuangan.

Dengan indikator yang sesuai, peta jalan tersebut dapat menghadirkan peluang yang menarik untuk kolaborasi antarpemangku kepentingan secara lebih lanjut, serta menawarkan sinergi antara organisasi negara dan swasta. Peta jalan tersebut juga bisa memastikan integritas transparansi laporan keberlanjutan, mengatasi tantangan dalam penawaran dan permintaan produk ramah lingkungan, sehingga meningkatkan kesiapan antara investor, perusahaan, dan pengembang proyek ramah lingkungan untuk mencapai bisnis berkelanjutan.

Mengungkapkan Produk Keuangan Berkelanjutan yang Berintegritas Tinggi

Peraturan OJK tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan (POJK 51) mewajibkan perusahaan jasa keuangan untuk membuat Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan, dan melaporkannya setiap tahun. Namun, berdasarkan analisis Sustainable Banking Assessment (SUSBA) WWF, delapan bank terbesar di Indonesia saat ini hanya memenuhi sekitar sepersepuluh dari kriteria terkait TCFD. Tak satupun dari mereka telah menetapkan target berbasis sains dan target net zero secara periodik.

Penetapan mandat ini menetapkan kewajiban bagi beberapa perusahaan untuk menerapkan dan menjalankan pembiayaan berkelanjutan dalam usahanya. Ini kemudian mendorong sektor keuangan untuk terlibat lebih luas dalam investasi hijau.

Dalam waktu dekat, ada potensi peraturan ini diamanatkan di luar lembaga keuangan, termasuk kepada perusahaan terbuka. Meskipun, POJK 51 telah membuat kemajuan dalam mendorong pelaku keuangan untuk mulai menerbitkan laporan keberlanjutan, masih ada ruang untuk perbaikan regulasi.

Idealnya, berbagai organisasi tersebut akan diminta untuk mengadopsi pelaporan standar dan kerangka penetapan target, selaras dengan standar internasional. Mengungkapkan risiko dan peluang terkait iklim merupakan bagian integral dari rekomendasi TCFD, karena hal ini kemungkinan besar akan berdampak pada posisi keuangan organisasi saat ini dan di masa depan.

Manajemen risiko dan informasi strategi untuk merebut peluang yang diungkapkan oleh para entitas merupakan sesuatu yang penting bagi investor, pemberi pinjaman, dan penjamin emisi asuransi untuk membuat keputusan keuangan yang lebih tepat.

Standardisasi Format Pelaporan

Format laporan pengungkapan yang distandarisasi untuk sektor industri yang lebih luas akan memungkinkan pembuat kebijakan membandingkan kinerja keuangan dan keberlanjutan para pelaku secara objektif, membedakan pemimpin iklim dengan pihak yang tertinggal, dan mencegah greenwashing.

Alternatif lainnya yang lebih baik adalah dengan menggunakan metriks penilaian risiko iklim yang kompatibel dan dapat dioperasikan sesuai dengan standar nasional dan internasional. Alternatif yang mungkin memerlukan penggabungan indikator SDGs, Public Disclosure Program for Environmental Compliance (PROPER) oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia, rekomendasi TCFD, dan standar GRI.

Selain itu, dengan mewajibkan para pelaku untuk mengadopsi Science-based Target Initiative (SBTi) dan berupaya menyelaraskan portofolio mereka, regulator kemudian akan dapat menilai apakah rencana yang diajukan memenuhi tujuan yang selaras dengan perjanjian Paris.

Pembangunan Kapasitas

Seiring dengan kemajuan yang dilakukan Indonesia dalam mengembangkan kebijakan hijau, termasuk Taksonomi Hijau, peningkatan kapasitas menjadi penting untuk memberikan pemahaman yang terintegrasi antara keberlanjutan, pengungkapan terkait iklim, dan navigasi terkait peluang keuangan berkelanjutan.

Untuk itu peningkatan kapasitas harus menjadi prasyarat dan faktor yang disediakan oleh regulator dan pembuat kebijakan sejak awal.

Regulator kemudian dapat terus membangun kapasitas dan merumuskan perbaikan kebijakan hijau yang sudah ada karena entitas dan investor menjadi lebih sadar akan langkah-langkah terkait iklim dan indikator penilaian risiko iklim. Hal ini mencakup ambang batas yang lebih jelas, standar pengukuran yang diperketat, dan lini masa untuk transisi bertahap menuju persyaratan keberlanjutan.

Di sini, Climateworks Center memberikan bantuan teknis kepada Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan (BPKP), regulator keuangan negara, untuk meningkatkan praktik pelaporan keberlanjutan dan menyusun Kerangka Pengawasan ESG sebagai panduan dalam pengawasan upaya dekarbonisasi badan usaha milik negara di Indonesia.

*Penulis adalah Business Analyst, ClimateWorks, Monash Sustainable Development Institute

141