Mataram, Gatra.com- Dua pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) pada satu Kecamatan di Lombok Timur, akhirnya ditangkap dan digiring Polda NTB. Kasus ini terungkap setelah korban melaporkan perbuatan bejat pelaku inisial HSN dan LMI karena diduga kuat sebagai terduga pelaku yang mencabuli puluhan santriwati. Seteklah kasus ini terungkap, akhirnya dikerangkeng Polda NTB dan ditetapkan sebagai tersangka.
Kapolres Lombok Timur AKBP Hery Indra Cahyono dalam keterangannya di Mataram, Selasa (22/5) mengungkapkan, satu korban HSN melaporkan aksi bejat pelaku ke polisi. Sedangkan terduga pelaku LMI dilaporkan dua orang korban.
Dikatakan, kedua pelaku masing-masing di satu kecamatan dan pondok yang berbeda. Pelaku HSN ditahan pada Selasa (16/5) dan LMI diamankan pada Kamis.
Alat bukti yang diamankan dari LMI berupa satu buah kaos lengan panjang warna hitam, satu buah jilbab warna putih, dan satu buah bra milik korban.
“Sedangkan barang bukti dari HSN berupa satu mukena warna putih, baju lengan panjang warna hijau, satu buah baju tank top hitam, celana dalam, dan satu buah bra warna hitam milik korban,” ujarnya.
Selain itu lanjut Kapolres, pihaknya juga mengamankan satu unit handphone milik korban dan empat handphone milik saksi.
Sementara itu Kabid Humas Polda NTB Kombes Arman Asrama Syaripudin dan Direktur Reskrimum Polda NTB, Kombes Pol Teddy Ristiawan menjelaskan dua kasus pencabulan yang dilakukan oleh dua pimpinan ponpes tersebut menjadi perhatian Polda NTB.
"Alhamdulillah serangkaian penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan di Satreskrim Polres Lombok Timur sehingga kasus ini menjadi terang," kata Bang Arman sapaan akrabnya.
Menurutnya, kedua pelaku diancam Pasal 81 junto Pasal 76D UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang ketetapan peraturan pemerintah pengganti UU No 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Tahun 2002 UU tentang anak menjadi UU atau Pasal 6C UU No 17 Tahun 2002 tentang tindak pidana kekerasan seksual.
"Kedua pelaku diancam hukuman penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun. Kedua pelaku juga akan dikenakan denda maksimal Rp 5 miliar," terangnya.