Jakarta, Gatra.com – Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan (IMPARSIAL) gelar diskusi publik bertajuk Refleksi 25 Tahun Reformasi: RUU TNI Mengancam Demokrasi dan Melanggar Konstitusi. Sejumlah pembicara hadir mengkritisi beragam topik yang dinilai menurunkan pencapaian Reformasi 25 tahun lalu.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (AII), Usman Hamid menyoroti penambahan jenis-jenis Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dalam Revisi Undang-undang (RUU) tentang TNI.
Menurut dia, kebijakan tersebut sangat keliru karena menunjukkan paradigma dan keinginan politik untuk memperluas keterlibatan peran militer di luar sektor pertahanan negara.
"Penambahan jumlah Operasi Militer Selain Perang dari 14 menjadi 19 itu jelas satu hal yang sangat keliru yang ada di dalam Revisi UU TNI. TNI akan kembali berada di atas hukum dan tidak lagi berada di dalam kesetaraan di muka hukum apabila UU ini direvisi," ujar Usman dalam konferensi pers daring yang ditayangkan melalui YouTube IMPARSIAL, Minggu (21/5).
Disorot pula usulan perubahan pada Pasal 65 ayat 2 yang dinilai memperkuat impunitas anggota militer yang melakukan tindak pidana umum. Usulan perubahan pasal itu berbunyi: Prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan hukum pidana umum.
Usman menilai perubahan tersebut bertentangan dengan semangat dan agenda reformasi TNI tahun 1998. Reformasi sistem peradilan militer merupakan salah satu agenda reformasi TNI yang telah dimandatkan dalam Pasal 3 ayat (4) TAP MPR No. VII Tahun 2000 dan Pasal 65 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.
"Seperti yang tersebut di dalam revisi yang menjelaskan kembali bahwa TNI tidak lagi tunduk pada kekuasaan peradilan hukum sebagaimana ditegaskan dalam TAP MPR sebelumnya Nomor 7 Tahun 2000 sampai dengan Undang-undang TNI itu sendiri," imbuhnya.
Direktur IMPARSIAL, Gufron Mabruri juga menyinggung reformasi di tubuh TNI saat membahas RUU TNI. Ia setidaknya mempunyai dua catatan kritis terkait rencana pengubahan aturan tersebut.
Pertama, ia mengkritik masih mangkrak atau mandeknya sejumlah agenda reformasi TNI. Dalam hal ini ia menyinggung reformasi sistem peradilan militer.
"Kita lihat misalnya ada reformasi sistem pada militer yang belum dijalankan, kemudian juga semakin menguatnya perang internal militer, serta dugaan keterlibatan aparat keamanan dalam kegiatan politik praktis. Saya kira itu beberapa [kritik]. Belum lagi kalau kita berbicara tentang masih banyaknya kekerasan aparat TNI di berbagai daerah," ucap Gufron.
Catatan kritis kedua adalah ketidakmampuan menjaga konsistensi capaian positif reformasi TNI tahun 1998. Ia mafhum ada banyak capaian positif yang harus diakui. Namun, di sisi lain, perlu disoroti perihal keberlanjutannya.
"Jadi, alih-alih melanjutkan, menuntaskan, justru dalam beberapa tahun belakangan malah terjadi berbagai kemunduran dalam proses reformasi,"
"Di tengah situasi itu banyak catatan terhadap perjalanan reformasi TNI. Hari ini mencuat isu rencana Revisi UU TNI yang justru menunjukkan kalau kita baca beberapa subtansinya ini akan semakin menguatkan kemunduran dalam agenda reformasi TNI yang dimandatkan pada tahun 1998," tandasnya.
Kemunduran dimaksud satu di antaranya berkaitan dengan upaya melemahkan kontrol sipil atas militer.
Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan TNI Laksda Julius Widjojono menyatakan pembahasan Revisi UU TNI masih berproses di internal. Ia menjelaskan belum ada persetujuan Panglima TNI atas paparan Revisi UU TNI yang beredar.
“Baru bahasan internal, belum keputusan Panglima. Belum approve Panglima,” kata Julius.