Jakarta, Gatra.com - Deputi Pencegahan dan Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pahala Nainggolan mengatakan, flexing atau pamer gaya hidup mewah oleh pejabat negara itu boleh-boleh saja. Sebab sikap pamer bukan suatu hal yang dipermasalahkan oleh lembaga antirasuah.
Kendati demikian, flexing yang dilakukan para penyelenggara negara akan menjadi pembuka KPK untuk menyelidiki adanya tindak pidana korupsi apabila profil si pejabat tidak sesuai dengan harta yang dimilikinya.
"Tapi memang itu jadi pembuka buat kita nih, makanya kebijakan KPK nih semua yang viral dan masyarakat pertanyakan harus kita eksplore," kata Pahala saat dihubungi wartawan, Sabtu (20/5).
Pahala melanjutkan, ketika pejabat negara diundang untuk klarifikasi laporan harta kekayaan penyelenggaraa negara (LHKPN) akibat flexing, pihaknya akan mengorek informasi terkait keseluruhan harta kekayaan yang si pejabat negara terima.
Kemudian KPK akan mengecek rekening koran dari si pejabat menjadi dua bagian. Pertama harta yang tidak dilaporkan, kedua transaksi rekening bank dari yang bersangkutan, pasangannya, hingga anaknya yang patut diduga adanya indikasi sebagai suap atau gratifikasi.
"Jadi tidak ada hubungannya dengan flexing kan tidak ada kita cari tasnya beli di mana? Mobilnya, tidak ada kita cari itu," ujarnya.
Lebih lanjut, dia menyampaikan, jika terendus adanya praktik gratifikasi atau suap dalam transaksi rekening bank, maka status si pejabat yang diklarifikasi LHKPN-nya akan naik tingkat ke penyelidikan.
"Jadi pencegahan mendapatkan indikasi adanya suap gratifikasi, ada tim majukan ke penyelidikan. Kalau penyelidikan merasa buktinya cukup, naik lah ke penindakan, nah di penindakan kalau dilihat harta yang banyak ini ternyata patut diduga dari pola-pola ini ditetapkan lah TPPU, jadi flexing nya itu kena di pencucian uang," pungkas dia.