Jakarta, Gatra.com - Unified Sports adalah upaya menggabungkan atlet yang tidak difabel dengan atlet difabilitas intelektual dalam sebuah tim. Apakah itu bisa terjadi? Prinsipnya sederhana saja, sebagaimana tertulis di laman www.specialolympics.org, yakni berlatih bersama, bermain bersama serta ikut kompetisi bersama. Itu adalah sebuah jalan menuju terciptanya suatu persahabatan.
Para atlet yang disatukan dalam persahabatan tersebut lebih baik lagi jika berusia setara dan punya kemampuan yang setara pula. Kontingen Special Olympics Indonesia di ajang Special Olympics World Summer Games (SOWSG) Berlin 2023, juga mengirimkan tim khusus ini di nomor-nomor unified sport. Yakni cabang olahraga bulutangkis dan bowling.
Dua pebulutangkis difabel intelektual Naufal Dwi Kurnia asal Yogyakarta dan Ananias Lilin Pratiwi asal Jawa Tengah serta dua atlet pendamping asal Jawa Tengah, Alfonsus William dan Kristiyana Febrianti tengah menjalani proses latihan di markas PB Djarum Kudus. Dua pelatih yang mendampingi adalah Mardi Panjaitan dan Sesaria Nisa Afifi.
Di lintasan Lucky Stike Bowling Semarang, pelatih Roy Agustinus Soselisa menyiapkan Mohamad Aldi dari Sumatera Selatan, Muhammad Yavie Eza Mahendra dari Kalimantan Timur dan Muhammad Angga Reka Perdana asal Jawa Barat. Keduanya bakal tampil sebagai pasangan di nomor men double event.
Mewujudkan Inklusi
Di banyak tempat seluruh dunia, kaum disabilitas intelektual, terutama anak-anak difabel, tak mendapat kesempatan ikut bermain dalam tim olahraga, baik di sekolah maupun masyarakat luas. Mereka dianggap tak mampu dan lemah dibanding anak yang tidak difabel. Saat anak-anak lain bersuka ria, mereka hanya diam saja.
Sebenarnya hak berolahraga ada pada semua orang. Bila anak disabilitas intelektual hanya bertanding dengan sesamanya, keakraban pun hanya sebatas itu. Di masyarakat luas, mereka tetap tersisihkan, tak ada yang mau peduli dan menerimanya sebagaimana warga yang lain.
Gerakan inklusi bisa jadi sebuah tawaran yang dapat dimanfaatkan menuju cita-cita terwujudnya kebersamaan, masyarakat luas menerima difabilitas intelektual, atau orang-orang yang punya bakat khusus, dalam kehidupan sehari-hari.
Perbedaan
Memadukan atlet Yafie yang difabel intelektual dengan Angga sebagai atlet partner adalah tantangan yang dihadapi Roy selaku pelatih. Namun pengalamannya sepanjang 12 tahun menjadi pelatih atlet difabel membuatnya tak terlalu asing dengan tugas itu. Di wilayah asalnya Jawa Timur, Roy pernah menjadi atlet partner, meskipun bukan di cabang olahraga bowling.
Menurut Roy, 37 tahun, proses kerjasama tim unified pebowling mesti dimulai sejak dini. Untuk itulah kebersamaan antara mereka dimulai dalam keseluruhan kegiatan sehari-hari. Dalam Pelatnas Sentralisasi yang bakal berjalan penuh selama sebulan, Roy menginstruksikan mereka selalu bekerjasama sekalipun untuk hal-hal kecil sehari-hari.
“Kendati tidak tinggal satu kamar di hotel namun kedua atlet mesti selalu saling membantu,” ujar pria berdarah Ambon namun lahir dan besar di Jawa Timur itu, dalam rilis kepada Gatra.com (19/5).
Dalam sepekan saja keakraban sudah terjadi. Kerjasama dalam hal mengurus pakaian kotor karena keterbatasn fasilitas laundry misalnya jadi pematik keakraban. Kegiatan lain adalah makan atau jalan-jalan bersama.
Hanya dalam sepekan setelah para pelatih daerah yang mengantar para atlet datang ke Pelatnas di Semarang, keakraban sudah terjadi. Dampaknya amat positif saat berlatih di lintasan bowling. Skor hasil lemparan terus membaik karena suasana akrab dan rilek baik antar atlet dan antara pelatih dengan atletnya.
Terpilihnya Angga pebowling asal Garut Jawa Barat sebagai atlet partner mendampingi merupakan keberuntungan bagi upaya membentuk pasangan unified sport yang padu. Angga digambarkan Roy sebagai pribadi yang baik, dia mengerti bagaimana membimbing atlet difabel intelektual sebagai partner.
Dalam kondisi terbaik, Angga akan mampu mendorong Yavie mencetak skor yang tinggi. Sebagai partner Angga akan displin mengkontrol agar dirinya tidak lebih unggul ketimbang Yavie.
“Saya terbayang saat-saat saya mengawali pendampingan saya ke atlet difabel ya seusia Angga, sehingga dia akan mengulang perjalanan saya,” kata Roy mengenang perjalanan kepelatihannya.
Di lapangan bulutangkis duo pelatih Mardi dan Nisa mematangkan dua pasangan unified. Masing-masing Naufal/Alfonsus ganda putra yang baru saling kenal karena berasal dari provinsi berbeda dan kakak adik Tiwi/Anna ganda putri yang sudah saling kenal.
Di awal pelatnas, Mardi mesti berusaha membuka komunikasi antara atlik difabilitas intelekltual Naufal yang juga memiliki kekurangan dalam pendengaran dengan Alfonso sebagai atlet partner.
Alfonso sehari-hari adalah pebulutangkis PB Djarum yang punya pengalaman berlatih secara intensif dengan fasilitas lengkap. Sementara Naufal tidak demikian, selain itu dia juga belum pernah mengikuti program Pelatnas dengan pola latihan 2 kali sehari.
Proses adaptasi ke pola latihan yang berbeda tampak mengagetkan Naufal. Dia jatuh sakit hingga tak ikut ke lapangan pada Rabu (17/5). Agenda latihan yang semestinya dijalani hanya satu sesi saja seharusnya.
Pembenahan atau tepatnya masalah stamina mesti diperhatikan agar bisa mencapai kondisi optimal saat berlaga di Berlin bulan depan. Di luar itu dalam kesempatan bermain dengan para pebulutangkis PB Djarum, para pebulutangkis difabilitas intelektual bisa mengimbangi. “Naufal sebagai atlet difabel intelktual nampaknya bisa digolongkan punya kemampuan high ability,” ujar Mardi.
Dia pun berharap dalam penentuan divisioning oleh panitia Special Olympics World Summer Games di Berlin, Naufal dan Tiwi bisa masuk divisi utama yang paling bergengsi.
Dua atlet partner Alfonsos dan Anna yang diharapkan mampu membimbing pasangannya untuk bermain baik. Keduanya mesti sadar bahwa dalam unified sport mereka tak boleh dominan dalam bermain.