Jakarta, Gatra.com - Ekonom senior Faisal Basri membeberkan sejumlah perbedaan kondisi ekonomi jaman sebelum dan pasca-reformasi. Menurutnya, 25 tahun setelah reformasi telah terjadi perubahan mendasar pada pola penguasaan kekayaan sumber daya alam dan kesenjangan ekonomi. Ia menyebut, konglomerasi jaman Orde Baru kini telah berubah menjadi oligarki.
"Waktu itu konglomerat tidak menguasai sumber daya alam. Dulu sumber daya alam itu dikuasai negara," ujar Faisal dalam diskusi publik CORE Indonesia, Selasa (16/5).
Ia mencontohkan, sebelum reformasi, Pertamina 100% menjadi operator sekaligus regulator dalam pemanfaatan sumber daya alam minyak dan gas. Pendapatan Pertamina saat itu bahkan telah berkontribusi besar terhadap APBN.
"Dulu Pertamina sumbangan pajaknya sampai 60-70%," sebut Faisal.
Lain hal nya dengan kini, menurut Faisal saat ini justru negara tidak bisa mengambil banyak keuntungan dari pemanfaatan sumber daya alam oleh oligarki. Contohnya, kata Faisal ekspor batu bara tahun lalu mencapai Rp850 triliun pun tidak diserap maksimal keuntungannya oleh negara. Kepentingan elit politik membuat oligarki mengambil alih atas sumber daya alam.
"Batu bara itu tahun lalu ekspor Rp850 triliun negara enggak mau ambil. Enggak ada pajak ekspor. Dikasih Rp100 triliun untuk Pilpres (pemilihan presiden) yang akan datang ya (urusan) selesai," beber Faisal.
Selain itu, ia menyebut bahwa dominansi Pulau Jawa dalam perekonomian tidak banyak berubah pasca-reformasi. Justru menurutnya dominasi Jawa saat ini lebih buruk dibandingkan jaman kepemimpinan Soeharto.
Faisal menyebut bahwa ketimpangan saat ini bukan lagi berdasarkan etnisitas antara pribumi dengan Tionghoa. Jurang pemisah antara yang miskin dan kaya, kata dia semakin dalam.
Menurutnya, hal itu terlihat dari ketimpangan penguasaan aset deposito di bank. Rekening dengan deposit di bawah Rp100 juta, sebut Faisal jumlahnya mencakup 99%.
"Sementara yang di atas Rp5 miliar (deposit) itu cuma 0,03%. Jaid ketimpangan itu dahsyat dan itu related dengan pendapatan dan tanggungan," jelasnya.
Bahkan, ia menyebut kondisi saat ini yaitu 1% orang kaya setara menguasai 40% kekayaan nasional atau 10% orang kaya menguasai 75% kekayaan nasional. Di satu sisi, Faisal melihat adanya kemunduran peran perbankan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi. Terutama dalam hal penyaluran kredit kepada masyarakat.
"Jadi bank menyalurkan kredit sekarang cuma 40% dari PDB. Zaman Pak Harto masih 60%, padahal kredit itu kan darah pertumbuhan ekonomi," ucapnya.
Dengan demikian, Faisal menilai bahwa oligarki saat ini telah menurunkan pertumbuhan ekonomi. Pembangunan infrastruktur, kata dia bahkan tidak dibarengi dengan kualitas sumber daya manusia. Ia menyebut angka harapan hidup Indonesia di ASEAN menjadi terendah kedua setelah Myanmar. Adapun angka harapan hidup di Indonesia saat ini turun menjadi 67 tahun dari sebelumnya pada 2019 yaitu 70 tahun.
"Jadi yang tumbuh infrastruktur segala macam, tapi manusianya merosot," imbuh Faisal.