Home Gaya Hidup Prof. Dr. Sulianti Saroso: Hidup Penuh Warna Sang Ahli Penyakit Menular

Prof. Dr. Sulianti Saroso: Hidup Penuh Warna Sang Ahli Penyakit Menular

Jakarta, Gatra.com - Hari ini Google Doodle Google Doodle memajang gambar Prof. Dr. Sulianti Saroso di home page Google untuk mengenang hari kelahirannya.

Nama Prof. Dr. Sulianti Saroso identik dengan penyakit menular. Karena namanya disematkan pada Rumah Sakit Pusat Infeksi (RSPI), yang dibangun secara representatif di kawasan Sunter, Jakarta Utara. Tidak terhitung lagi, berapa kali orang menyebutnya, menuliskannya dan membincangkannya, baik di media penyiaran dan media sosial bila wabah mengancam Indonesia, termasuk wabah Covid-19.

Dikutip dari Indonesia.go.id, Profesor Dokter Sulianti Saroso, MPH, PhD, adalah nama penting untuk setidaknya dua urusan, yang pertama adalah pencegahan dan pengendalian penyakit menular, lainnya adalah keluarga berencana (KB).

Justru di area ini, perannya sangat menarik. Pascarevolusi kemerdekaan, dokter Sulianti meraih beasiswa dari WHO untuk belajar tentang tata kelola kesehatan ibu dan anak di beberapa negara Eropa, terutama Inggris. Pulang ke tanah air pada 1952, ia mengantungi Certificate of Public Health Administrasion dari Universitas London. Ia pun ditempatkan di Yogya sebagai Kepala Jawatan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan RI.

Tanpa harus menunggu restu kanan-kiri, Sulianti segera melakukan penggalangan dukungan publik untuk program kesehatan ibu dan anak, khususnya pengendalian angka kelahiran lewat pendidikan seks dan gerakan keluarga berencana (KB). “Dengan penuh semangat dia meminta pemerintah agar membuat kebijakan mendukung penggunaan kontrasepsi melalui sistem kesehatan masyarakat,’’ tulis Terence H Hull, pengamat kebijakan kesehatan dari Australia National University (ANU), dalam People, Population, and Policy in Indonesia, 2005.

Dokter Sulianti bergerak cepat dan lincah, lebih mirip aktivis ketimbang birokrat. Melalui RRI Yogyakarta dan harian Kedaulatan Rakjat, ia menyampaikan gagasan tentang pendidikan seks, alat kontrasepsi, dan pengendalian kehamilan dan kelahiran. Bagi Sulianti, korelasi kemiskinan, malnutrisi, buruknya kesehatan ibu dan anak, dengan kelahiran yang tak terkontrol, adalah fakta terbuka yang tak perlu didiskusikan. Yang mendesak ialah aksi untuk memperbaikinya.

Kampanye dokter Sulianti itu menimbulkan geger. Gabungan Organisasi Wanita (GOW) Yogyakarta lalu menggelar seminar dengan melibatkan para dokter serta pimpinan organisasi keagamaan. Hasilnya, gagasan Julie Sulianti ditolak mentah-mentah. Dokter Sulianti mendapat teguran dari Kementerian Kesehatan. Tak lama kemudian ia dipindah ke Jakarta, promosi menjadi Direktur Kesehatan Ibu dan Anak di kantor Kementerian Kesehatan.

Dokter Sulianti masih terus memperjuangkan ide program KB. Hanya saja melalui jalur swasta. Bersama sejumlah aktivis perempuan, ia mendirikan Yayasan Kesejahteraan Keluarga (YKK) yang menginisiasi klinik-klinik swasta yang melayani KB di berbagai kota. Para pejabat kementerian tutup mata. Untuk membangun model sistem pelayanan ibu dan anak, ia juga mendirikan pos layanan di Lemah Abang, Bekasi. Tujuannya, pelayanan medik bagi ibu dan anak bukan tujuan akhir. Goal-nya kehidupan ibu dan anak yang sehat dan bahagia.

Pada era 1970 hingga 1980-an, gagasan-gagasannya tentang pengendalian penyakit menular, KB, dan kesehatan ibu serta anak secara bertahap diadopsi menjadi kebijakan pemerintah.

Menurut Dita Saroso, putri Profesor Sulianti, Meski memiliki kepedulian besar tentang KB, menurut Dita Saroso, ibunya tak sempat turut terlibat dalam eksekusinya. ‘’Sepanjang yang saya ingat, Ibu tak pernah masuk BKKBN,’’ ujarnya.

Di penghujung karirnya, Profesor Sulianti lebih banyak menekuni bidang yang sesuai dengan kompetensi akademiknya, yakni penyakit menular.Salah satu ide yang terus dikawalnya ialah mengembangkan RS Karantina Tanjung Priok menjadi RS Pusat Infeksi dengan teknologi terbaru, piranti mutakhir, serta sumber daya manusia yang mumpuni. Tujuannya, agar RS tersebut bisa menjadi RS rujukan sekaligus lembaga pendidikan serta pelatihan.

Namun, menjelang RSPI itu dibangun, Dokter Sulianti wafat, pada 1991. Nama Profesor Sulianti Saroso pun disematkan sebagai nama resmi rumah sakit tersebut saat diresmikan pada 1995.

168

KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR