Jakarta, Gatra.com – Lokasi pembangunan Terminal Khusus (Terus) LNG yang akan digeser ke lepas pantai sejauh 4 kilometer dari semula di pesisir Desa Sidakarya, Kecamatan Denpasar Selatan, Denpasar, Bali, terus menuai reaksi dari sejumlah kalang, di antaranya warga adat hingga pengamat atau pakar.
Penetapan Desa Sidakarya sebagai lokasi, sudah melalui hasil kajian. Selain di desa adat tersebut, kawasan Pelabuhan Benoa juga telah dilakukan hal serupa. Pakar Maritim Ketut Sudiarta menyampaikan, di situ pintu masuk pelabuhan sempit, sementara kapal yang sandar di sana banyak.
Menurutnya, kapal tanker pembawa LNG tidak mungkin menunggu antrean karena harus langsung menyuplai LNG ke terminal. Karena itu, Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan pun dari awal menolaknya.
Terlebih lagi, lanjut pria bertitel doktor manajemen perairan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam keterangan pers diterima pada Kamis (4/5), untuk sandar kapal kargo LNG akan menuai persoalan lingkungan jika di Tersus LNG dibangun di Benoa.
“Kalau di sana harus memotong karang yang menjadi benteng alam yang melindungi Tanjung Benoa. Karakter pantai Bali memiliki ancaman atas tsunami, sehingga benteng alam tidak boleh dirusak,” ujarnya.
Sedangkan soal usulan agar lokasi dipindahkan ke tengah Laut sekitar 4 kilometer (km) dari pantai Desa Sidakarya, lanjut Sudiarta, itu belum memiliki dasar kajian. Selain itu, akan memotong alur pelayanan Benoa.
“Kalau dipaksa dibangun fasilitas FSRU LNG di sana, harus ada perubahan alur pelayaran dan yang untung cuma PLN,” kata Sudiarta.
Ia menilai, hal tersebut tidak sesuai dengan prinsip Pemerintah Provinsi Bali dan persetujuan sejumlah elemen terkait di Pulau Dewata, yakni konsep membangun Bali bukan membangun di Bali.
Berlarut-larutnya pembangunan Terus LNG tersebut, lanjut Sudiarta, terjadi karena ego sektoral, yakni dunia pariwisata khusus di sekitar kawasan Pantai Serangan misalnya, karena Bali Turtle Island Devolepment (BTID) sepertinya tidak ingin view pantai dihalangi FSRU dan Kapal LNG. Padahal posisi Tersus LNG ada di halaman belakang kawasan BTID, sama sekali tidak mengganggu pariwisata.
“Ini soal persepsi, masyarakat sekitar awalnya sama juga menolak karena tidak mengerti. Bayangan mereka akan ada kilang-kilang besar,” ujarnya.
Ternyata, lanjut Sudarta, setelah tahu bukan model kilang, akhirnya masyarakat setuju karena akan ada dampak positif penataan kawasan. Terlebih, ini di pantai belakang BTID, beda dengan Benoa yang berada di halaman muka BTID.
Menurutnya, pembangunan Bali harus terintegrasi. Pariwisata butuh listrik, maunya power plan di luar Bali. Namun itu tidak fair. Idealnya memang di perairan Sidakarya dan terintegrasi dengan penataan kawasan pantai Serangan, Intaran, Sidakarya, dan Sesetan.
Sedangkan jika tidak terintegrasi, lanjut dia, maka sama artinya membiarkan empat desa adat tetap kumuh sementara BTID dengan program Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang didanai uang negara di sebelahnya akan nampak mewah.
Dosen Ilmu Kelautan Universitas Warmadewa Denpasar, Bali, tersebut lebih jauh menyampaikan, kawasan KEK kurang memberi andil secara langsung kepada masyarakat Bali. Tetapi semua ekses dari keberadaan KEK seperti sampah itu yang akan menanggung daerah.
Atas dasar itu, pengkajian yang sudah ada di Perairan Intaran, serta penataan kawasan akan memberi nilai positif bahwa PLN membangun bersama masyarakat Bali sehingga akan menyenangkan semua pihak.
“Every body happy, PLN memakai LNG lebih murah, penataan kawasan terjadi itu juga menguntungkan BTID terlebih masyarakat sekitar,” kata Sudiarta.