Jakarta, Gatra.com - Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto mengatakan jika Amerika Serikat gagal bayar utang senilai US$31,45 triliun maka akan berdampak pada perekonomian Indonesia. Sebab, perekonomian AS menjadi salah satu pilar yang cukup penting terhadap kondisi ekonomi Indonesia.
Terlebih, kata Eko, Negeri Paman Sam itu masih menjadi salah satu pilar utama dari surplus neraca dagang Indonesia. Sehingga apabila terjadinya gagal bayar atau government shutdown, AS dengan ini harus mengurangi atau meminimalkan pembelanjaan yang tidak penting.
“Ini akan berdampak pada ekonomi Amerika Serikat itu sendiri. Di ujungnya nanti secara tidak langsung tentu akan menghantam kepada neraca dagang kita, ekspor kita bisa saja ikut turun karena situasi yang terjadi di Amerika,” kata Eko dalam acara Market Review yang diselenggarakan IDX Channel secara virtual pada Selasa (2/5/2023).
Lebih lanjut, Eko menjelaskan bahwa kondisi ekonomi Amerika saat ini tengah mengalami tren penurunan. Bahkan, kata Eko, beberapa waktu belakangan juga ada gejolak keuangan di sana. Hal ini akan berlangsung sepanjang tahun 2023 ini.
Tren penurunan ekonomi AS ini, tambah Eko telah tercermin dalam sembilan bulan terakhir, dari tiga kuartal berturut-turut.
“Tadinya (perekonomian AS) di atas 3 kemudian terakhir kemarin di triwulan 4 hanya 2,6. Sekarang, di triwulan I-2023 hanya tumbuh 1,1 persen, itu menandakan adanya perlambatan,” kata Eko.
Hal tersebut juga terefleksi dari neraca dagang AS yang semakin menurun surplusnya. Eko menilai, apabila ada resiko gagal bayar utang hal ini akan mengakibatkan semakin luas dampak yang ditimbulkan.
“Ini kalau sampai ada risiko gagal bayar tentu lebih luas lagi dampaknya tapi walaupun misalkan tidak terjadi kesepakatan di sana antar DPR (AS) dan pemerintahnya dan kemudian berujung government shutdown tentu itu akan mengurangi aktivitas ekonomi Amerika Serikat, kalo jatuh ke jurang resesi ya pasti ada dampaknya kepada neraca perdagangan Indonesia terutama kepada surplus kita,” jelas Eko.
Ditambah sampai saat ini kata Eko, para pemangku kepentingan AS belum mengambil keputusan untuk mengatasi gagal bayar utang ini. Sebab, baik pemerintah AS dan DPR AS memiliki keinginan yang berbeda.
“Yang satu minta plafonnya dinaikkan, batasannya dinaikkan tanpa mengurangi berbagai macam penyesuaian untuk pengetatan anggaran, tapi yang satunya mungkin menerima untuk dinaikkan, tapi kemudian minta cukup besar sekali pemotongan anggaran untuk efisiensi,” ujar Eko.
“Jika tidak terjadi kesepakatan antara DPR dan Pemerintah Amerika, maka akan terjadi seperti yang dikatakan Menteri Keuangan Janet Yellen yakni berdampak serius bagi aktivitas ekonomi negara itu,” pungkasnya.