Denpasar, Gatra.com – Tokoh desa adat Serangan, I Wayan Loka, mengatakan, warga desa adat Serangan dan sejumlah warga desa adat Sesetan, Sidakarya, dan Intaran, Denpasar, Bali, resah soal rencana lokasi pembangunan Terminal Khusus (Tersus) LNG Sidakarya dipindahkan ke laut.
Loka menyampaikan, masyarakat adat resah dengan pemberitaan bahwa Menko Maritim dan Investasi (Marves) Luhut? Binsar Panjaitan akan memindahkan lokasi pembangunan Terus LNG tersebut ke laut.
Ia menyampaikan, awalnya Terus LNG Sidakarya akan dibangun di pantai. Namun kemudian akan dipindahkan lokasinya sejauh 4 kilometer (km) ke arah laut lepas. Menurutnya, ini sangat meresahkan karena warga menjadi tidak akan mendapat efek dari keberadaan terus tersebut.
“Kami akan dapat apa? Kami hanya akan jadi penonton saja," kata Loka dalam keterangan tertulis pada Sabtu (29/4).
Bandesa Serangan, Made Bebas, menyampaikan, proses penentuan lokasi tersebut sudah berlangsung sangat panjang dan awalnya warga di empat desa adat tersebut menolak keras di antaranya melaui aksi demonstrasi besar-besaran.
Ia menjelaskan, awalnya warga masyarakat adat menolak keras karena awalnya menilai bahwa Tersus LNG akan membahayakan warga. Tetapi setelah mendapat penjelasan, akhirnya mengerti bahwa LNG merupakan bahan energi yang lebih aman dan bersih.
“Kami setuju [pembangunan Terus LNG]. Terakhir pemerintah pusat minta harmonisasi, ada Pak Gubernur, Pak Wali Kota, dan kami sepakat. Kenapa berubah lagi?” ujarnya.
Tokoh Desa Adat Sidakarya, I Ketut Loka, menambahkan, kekhawatiran warga desa adat ini memiliki dasar. Proyek Tersus LNG Sidakarya yang melewati empat desa adat ini akan terintegrasi dengan penataan Pelabuhan Serangan, Pantai Intaran, dan rivatalisasi Pantai Sidakarya.
Meterial pengerukan untuk kolam FSRU dan vessel kapal LNG, berupa pasir akan menjadi bahan penambahan lahan pendukung Pelabuhan Serangan.
Pantai Intaran yang dilalui sungai akan normalisasi menjadikan solusi banjir dari Renon Denpasar. Warga Sidakarya akan diberi akses ke pantai untuk Melasti sehingga upacara adat bisa dilakukan di pantai sendiri.
Selain itu, perusahaan daerah telah bekerja sama dengan badan usaha desa adat untuk mengelola unit usaha yang dikerjasamakan. “Ini harapan terakhir kami, jangan sampai harapan kami pudar lagi, kami kesal ada apalagi ini?” ujar I Ketut Loka tokoh Desa Adat Sidakarya belum lama ini.
"Kalau dipindah namanya membiarkan kami tetap kumuh sementara BTID sebelah kami megah," ujar Wayan Loka.
Dalam rapat koordinasi teknis yang digelar Menko Marvest di Hotel Mercure pada Kamis (27/4) mengerucut pada aspek keselamatan. Pakar Desain Teknik Perkapalan dari Institut Teknologi 10 November Surabaya (ITS), Prof. Dr. Ketut Budha Artana, menyampaikan bahwa penilaian aspek keselamatan keluar masuk kapal, keberadaan FSRU sendiri, dan aktivitas di sekitar assesment dapat diterima.
Dari sisi navigasi dan Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP?) juga memberi penilaian masih aman untuk aktivitas kapal lain. Dosen pengajar bidang teknologi LNG ITS ini pun menyebut, secara kajian teknis sudah selesai.
“Tetapi dilihat aspek kemanfataan, bagi masyarakat sekitar. Ini yang minim jika ditarik jauh ke offshore, walaupun dari sisi manuver kapal lebih mudah,” katanya kepada wartawan.
Kemanfataan bagi masyarakat inilah yang didengungkan Gubernur Bali, Wayan Koster. Pembangunan Bali bukan pembangunan di Bali. Dengan pembangunan Bali, melibatkan warga setempat dan keberlanjutan lingkungan serta adat, sehingga kekhawatiran warga empat desa adat tidak terjadi.