Mataram, Gatra.com - Lebaran Topat di Lombok kerap kali disebut juga sebagai lebaran adat. Sayangnya, sering dilupakan istilah itu oleh para tokoh, termasuk pihak pemerintah. Padahal Lebaran Topat sesungguhnya merupakan manifestasi untuk menunjukkan rasa gembira dan syukur atas selesainya Puasa Sunnah Syawal selama sepekan.
Puasa syawal ini begitu disakralkan oleh orang-orangtua di Lombok, terutama penganut Tariqat Naksabandiyah. Budayawan Lombok, Lalu Abdurrahim alias Mamiq Jagat, kepada Gatra.com, mengatakan, Lebaran Topat ini adalah salah satu peristiwa budaya yang juga diistilahkan dengan sebutan Adat Game dan Adat Luir Game dalam bahasa Sasak lama.
Selain itu, kata Jagat, ada juga yang berpendapat bahwa Lebaran Topat ini disebut Lebaran Adat, menguatkan tradisi masyarakat Sasak yang dijadikan sebagai perekat dalam berkeyakinan spritualitas di Gumi Sasak.
Jagat yang juga Ketua Koordinator Ritual Tradisi Majelis Adat Sasak ini, menyatakan, seiring dengan perkembangan agama Islam di Gumi Sasak dahulu di beberapa wilayah Lombok juga sudah sangat mengutamakan pelaksanaan puasa sunnah Syawal.
Menurut dia, itu sebagai ekspresi rasa syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas tuntasnya pelaksanaan puasa Syawal, warga Lombok menunjukkannya dengan mengadakan Lebaran Topat yang pada intinya ditunjukkan dengan silaturahmi antarkeluarga dan sahabat.
“Tak lupa juga mereka menziarahi makam keluarga yang telah mendahului meraka. Jasa para wali penyebar agama Islam di Lombok tak luput dari laku ziarah makam yang diyakini makam keramat," ujarnya.
Adapun makam keramat tersebut seperti makam para waliyullah penyebar Islam di Gumi Sasak, sehingga pada momen Lebaran Topat akan melihat keramaian di tempat-tempat tertentu, seperti makam para wali atau makam-makam para penyebar agama islam di Lombok.
"Di antaranya makam Syech Gaus Abduurrazak, Syech Ali Alkab, Gaus Abdurrahman, Datuk Lopan, dan Walinyatok, termasuk makam Tuan Guru Ahmat Teretetet,” kata Jagat pada Sabtu (29/4).
Dikatakan Jagat, konsep puasa sunah Syawal bagi pemahaman secara umum sebenarya diibaratkan kembali ke fitri (suci) ibarat bayi yang baru lahir. Momentum Lebaran Topat menjadi momentum muhasabah bagaimana menjaga kejernihan berpikir, berperasaan, empati, dan laku terpuji lainnya.
“Jadi Lebaran Topat sesungguhnya bagaimana mengajak orang ber-muhasabah mengevaluasi diri," ujarnya.
Sedangkan dari tinjuan budaya, Lebaran Topat diharapkan menjadi pembelajaran dimensi harmoni sosial dan religiusitas dan tradisonal. Melekatkankan warisan budaya leluhur yang menjadi khasanah kearifan lokal kepada generasi saat ini menjadi tanggung jawab, tantangan, dan tugas bersama.
"Tugas bersama di tengah arus modernisasi dan gempuran teknologi informasi yang setidaknya banyak berpengaruh kepada mental generasi,” ujarnya.