Jakarta, Gatra.com – Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel, mengungkapkan bahwa munculnya ancaman pembunuhan terhadap warga Muhammadiyah dari Aparatur Sipil Negara (ASN) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bernama Andi Pangerang Hasanudin (APH) merupakan indikator adanya kejahatan kebencian (hate crime).
“Dari redaksionalnya [komentar APH di Facebook], kebencian dan ancaman pembunuhan itu tertuju tidak sebatas pada individu per individu, melainkan menyasar kelompok dengan latar identitas tertentu. Inilah indikasi utama hate crime,” ujar Reza dalam keterangan resminya, Senin malam, (24/3/2023).
Reza yang juga seorang Anggota Pusat Kajian Assessment Pemasyarakatan Politeknik Ilmu Pemasyarakatan (Poltekip) mendefinisikan kejahatan kebencian (hate crime) sebagai kejahatan yang dilakukan dengen menyeleksi para calon korban berdasarkan ciri atau identitas, termasuk kelompok tertentu.
Dalam situasi kejahatan kebencian, kata Reza, para korban tidak sebatas korban langsung (direct victim), tetapi bahkan mencakup vicarious victims alias masyarakat. Kendati sebatas vicarious, kata dia, reaksi psikis masyarakat akan serupa dengan korban langsung, yakni meliputi takut, marah, dan terguncang.
Reza mencatat bahwa pada kenyataannya sekitar setengah dari seluruh korban kejahatan kebencian tidak melaporkan peristiwa dimaksud ke kepolisian. Dari total yang dilaporkan pun tidak banyak yang berlanjut ke proses litigasi. Ia melihat betapa mereka yang merasa telah menjadi korban kejahatan kebencian justru diperlakukan kurang sebagaimana mestinya.
“Akibatnya, kian hari jumlah laporan pun kian menurun. Inilah yang mendorong sekian banyak institusi kepolisian berupaya menyemangati masyarakat untuk melaporkan hate crime yang terjadi di tengah-tengah mereka,” kata Reza.
Dalam kasus ASN BRIN, seorang peneliti berinisial APH yang melontarkan kejahatan kebencian memang sudah menyampaikan permohonan maaf. Namun, Reza menilai bahwa polisi harus tetap turun tangan menanganinya. Tujuannya agar masyarakat dan warganet bisa menyaksikan pelaku kejahatan kebencian itu bertanggung jawab.
Begitu pula, kata Reza, meski sejauh ini ancaman pembunuhan itu belum mewujud sebagai aksi pembunuhan, tetapi perbuatan menebar ancaman itu tetap mesti tercatat dalam rekam kriminalitas yang bersangkutan.
“Sehingga, sekiranya pelaku nantinya mengulangi perbuatan tersebut, ia sudah dapat dikategori sebagai pelaku residivisme,” katanya.
Reza menyebut bahwa residivisme di sini tidak dihitung berdasarkan frekuensi masuknya pelaku ke dalam penjara, melainkan berdasarkan pemeriksaan (re-contact) atau bahkan penahanan (re-arrest) oleh kepolisian. Ia menilai keseriusan nyata oleh otoritas penegakan hukum seperti itulah yang diharapkan akan memunculkan efek jera pada diri yang bersangkutan.
“Polri perlu mengambil langkah tegas guna menginterupsi kekerasan di media sosial yang dapat bereskalasi menjadi kekerasan di dunia nyata. Tentu tidak cukup terhadap pelaku. Para korban juga harus diberikan jaminan keamanan oleh otoritas terkait agar terhindar dari eskalasi ancaman pembunuhan tadi,” ujar Reza.
Seperti diketahui, ramai di media sosial baru-baru ini soal ancaman pembunuhan yang dilontarkan oleh APH kepada warga Muhammadiyah yang ia tulis melalui kolom komentar di sebuah status di Facebook. Usut punya usut, ia melontarkan ancaman itu lantaran ia marah karena Muhammadiyah tak sepakat untuk melaksanakan Hari Raya Idulfitri pada 22 April 2023 lalu.
“Perlu saya halalkan gak nih darahnya semua Muhammadiyah? Apalagi Muhammadiyah yang disusupi Hizbut Tahrir melalui agenda Kalender Islam Global dari gema Pembebasan? Banyak bacot emang. Sini saya bunuh kalian satu-satu,” tulis AP Hasanuddin.
Komentar itu ia tulis dalam menanggapi komentar lainnya dari seorang profesor riset astronomi dan astrofisika RBIN, Thomas Djamaluddin. Dalam komentarnya, Thomas menyentil Muhammadiyah yang melakukan perayaan Idulfitri di beda hari dengan ketetapan pemerintah.
“Ya. Sudah tidak taat keputusan pemerintah, eh masih minta difasilitasi tempat shalat Ied. Pemerintah pun memberikan fasilitas,” tulis Thomas.
Meski begitu, dalam gambar yang beredar di media sosial, APH telah menuliskan permintaan maaf. Dalam suratnya itu pun ia telah mengakui bahwa memang dirinyalah yang menuliskan komentar berbau pembunuhan terhadap warga Muhammadiyah.
“Komentar di Facebook tertanggal Minggu, 23 April 2023 di akun Thomas Djamaluddin yang berbau ancaman pembunuhan kepada Muhammadiyah adalah benar dan sesadar-sadarnya dari saya pribadi. Saya berkomentar demikian dilandasi dari rasa emosi dan ketidakbijaksanaan saya saat melihat akun tersebut diserang oleh sebagian besar warga Muhammadiyah yang tidak terima oleh unggahan di akun tersebut,” tulis APH dalam suratnya.