Jakarta, Gatra.com – Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menilai pemberhentian Prof. Dr. Zainal Muttaqin, PhD, SpBS dari Rumah Sakit (RS) Kariadi, Semarang, Jawa Tengah (Jateng), merupakan pembungkaman berpendapat dan tindakan represif.
PB IDI menyampaikan pernyataan tersebut melalui keterangan pers yang diterima di Jakarta pada Senin (24/4). Pihaknya menyesalkan pemberhentian atau tindakan terhadap Prof. Dr. Zainal Muttaqin tersebut.
Baca Juga: Soal Pernyataan Menkes Tingginya Biaya SIP Dokter, FDPKKB Layangkan Somasi
Pasalnya, sesuai dengan hak warganegara yang dilindung dalam UUD 1945, yaitu kebebasan berpendapat, mengeluarkan pikiran sebagai akademis dan intelektual, seharusnya tidak disikapi dengan cara-cara yang sangat disayangkan.
Terlebih lagi, Prof. Dr. Zainal Muttaqin termasuk dokter bedah saraf dengan kekhususan yang langka di bidang keilmuan Epilepsi yang sangat dibutuhkan masyarakat. Dia selama ini aktif sebagai pengajar menghasilkan Dokter Spesialis Bedah Saraf yang jumlahnya masih sangat sedikit di Indonesia.
“PB IDI melalui Bidang Hukum Pembelaan dan Pembinaan Anggota (BHP2A) PB IDI dan IDI Wilayah Jawa Tengah akan melakukan pendampingan hukum, dan memperjuangkan hak-hak sebagai anggota IDI dan warganegara Indonesia,” kata Dr. dr. Moh. Adib Khumaidi, SpOT, Ketua Umum Pengurus PB IDI.
Menurutnya, tulisan-tulisan Prof. Zainal Muttaqin, PhD, SpBS(K) di laman pribadinya di Kumparan.com selama ini tidak hanya mengkritik Kementerian Kesehatan (Kemenkes), tetapi juga menjelaskan banyak kesalahpahaman publlik pada organisasi profesi dan situasi kesehatan di Indonesia.
Sementara itu, Ketua IDI Wilayah Jawa Tengah, dr. Djoko Handojo, Sp. B-onk mengatakan, pihaknya berharap masalah ini semestinya dapat didiskusikan secara kekeluargaan terlebih dahulu oleh oleh semua pihak yang terlibat.
“Beliau bukan hanya sejawat kami, tetapi juga Guru Besar dan Dokter Spesialis Bedah Saraf yang pengorbanannya sangat besar dalam menangani pasien-pasien yang membutuhkan bantuan operasi saraf selama masa kritis pandemi CoVID lalu,”.ujarnya.
Djoko menambahkan, semestinya pemerintah tidak boleh melupakan pengorbanan para dokter dan semua tenaga kesehatan dalam penanganan pandemi CoVID. Dokter atau tenaga kesehatan dan semua pihak pernah bersama-sama bahu membahu hingga bisa mencapai situasi seperti sekarang.
“Janganlah jasa-jasa beliau dan juga tenaga kesehatan lainnya juga organisasi profesi dilupakan hanya karena kritik yang bertujuan agar pemerintah kita menjadi lebih baik lagi,” ujarnya.
PB IDI juga menekankan bahwa Prof. Dr. dr. Zainal Muttaqin, SpBS(K) juga merupakan satu dari lima pakar bedah epilepsi di Indonesia sehingga pasien epilepsi di Indonesia bisa menjadi lebih baik. Sepatutnya pemerintah maupun pihak RS Kariadi bisa menghargai jasa beliau, baik sebelum dan selama Pandemi CoVID, maupun masa-masa sekarang ini.
“Apalagi pemerintah Indonesia mengusung prinsip demokrasi yang berasaskan Pancasila,” katanya.
Baca Juga: Komisi IX DPR Soroti Kurangnya Dokter Spesialis di indonesia
Menurutnya, para dokter juga merupakan bagian dari rakyat yang berhak menyuarakan kegelisahannya. Upaya pembungkaman yang dilakukan oleh pejabat pemerintah Kemenkes melalui pemberhentian Prof. Zainal Muttaqin mencederai proses demokrasi yang didengungkan oleh pemerintah.
“Mudah-mudahan tindakan-tindakan represif seperti ini tidak berlanjut yang akan memperkeruh keadaan dan yang akan dirugikan adalah pasien-pasien dan peserta didik beliau dan masyarakat pada umumnya,” kata Prof. Dr. dr. H. Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB, FINASIM, FACP, Guru Besar Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI).