Jakarta, Gatra.com - Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira membeberkan sejumlah langkah yang bisa dilakukan pemerintah untuk menarik investasi energi bersih pascapartisipasi RI di pameran industri Hannover Messe di Jerman.
Diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut bahwa dibutuhkan investasi sekitar US$1 triliun hingga 2060 untuk RI bisa menghasilkan energi bersih yang terjangkau. Jokowi juga menyebut untuk mendukung terwujudnya rencana transisi ke energi bersih itu, pemerintah akan menutup total seluruh pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara di tahun 2050.
Menurut Bhima, langkah pertama adalah mendorong Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan perubahan pada taksonomi label hijau di dalam industri. Pasalnya, saat ini, kata Bhima industri batu bara masih mengantongi label kuning.
Baca juga: Ekonom ini Dorong Aturan Penyelenggara Bursa Karbon yang Ideal
"Padahal investor yang akan masuk ke transisi energi perlu memastikan bahwa regulasi sudah tidak lagi mendukung pendanaan ke batubara," ujar Bhima kepada Gatra.com, Selasa (18/4).
Selanjutnya, Bhima mengatakan pemerintah juga harus tegas dalam hal perizinan. Adapun untuk pembangunan PLTU batu bara baru di kawasan industri haruslah dilarang.
Menurutnya, pernyataan Jokowi ihwal penutupan total seluruh PLTU batu bara pada 2050 dianggap kontradiktif. Pasalnya, sebagian besar kawasan industri hijau (KIH) masih mengandalkan energi dari PLTU batu bara.
"Hanya 23% berasal dari EBT," sebutnya.
Baca juga: Di Hannover Messe, Jokowi Sebut Seluruh PLTU Batu Bara Ditutup 2050
Di sisi lain, Bhima mengungkapkan bahwa PLTU Captive Power di kawasan industri mestinya masuk dalam program pensiun batubara. Lebih lanjut, Bhima menyebut pemerintah juga harus mengawasi traceability perusahaan-perusahaan tambang untuk transisi energi seperti nikel dan bauksit agar mempraktikkan standar lingkungan yang ketat.
"Misalnya, perusahaan seperti VW harus menjaga citra sehingga seluruh rantai pasok material baterai tidak boleh berdampak negatif ke lingkungan dan merugikan masyarakat di sekitar pertambangan," imbuh Bhima.