Jakarta, Gatra.com – Tak hanya sebagai wadah bersosialisasi secara virtual, media sosial (medsos) seperti Twitter juga kerap digunakan penggunanya untuk berpartisipasi dalam diskursus politik Tanah Air. Mereka kerap kali berperan sebagai kontrol sosial politik dan dinilai sebagai pilar baru dalam berdemokrasi.
Yang teranyar menjadi korban adalah eks Kepala Bagian Umum DJP Kanwil Jakarta Selatan, Rafael Alun Trisambodo (RAT). Ia sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK atas dugaan gratifikasi. Nasib sialnya itu adalah buntut tereksposenya gaya hidup mewah RAT dan sang istri yang dikuliti warganet melalui medsos usai terkuak fakta anaknya, Mario Dandy, menjadi tersangka kasus penganiayaan.
Meski begitu, dalam melontarkan kritiknya kepada pejabat-pejabat pemerintahan, pengguna medsos juga kerap berhati-hati. Sebagai contoh, mereka sering menggunakan istilah “Wakanda” alih-alih “Indonesia” merujuk pada negara Indonesia dengan tujuan mengkritik bobroknya kondisi sosial politik di Tanah Air. Konon, tujuannya adalah untuk menghindari gigitan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang sering dianggap mengandung pasal-pasal karet.
Seperti diketahui, Wakanda adalah negara fiksi yang merupakan kampung halaman dari pahlawan super, Black Panther, yang berlokasi di Afrika Sub-Sahara. Nama Wakanda kian populer di dunia maya usai rilisnya film Black Panther yang diproduksi oleh Marvel Studios pada 2018 silam.
Asal-usul “Indonesia” diganti dengan istilah “Wakanda” belum diketahui pasti. Namun, selain untuk menghindari UU ITE, konon penggunaan istilah Wakanda juga ditujukan untuk menggambarkan kontras antara Wakanda yang merupakan negara maju dan harmonis dengan Indonesia yang dipandang sebaliknya.
Selain Wakanda, telah lama juga muncul istilah “PDIP U23” sebagai plesetan politik dalam iklim politik nasional. Usut punya usut, istilah tersebut ditujukan kepada Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Istilah “U23” diambil dari dunia sepak bola di mana kelompok umur U23 berarti masih terbilang junior jika dibandingkan dengan timnas seniornya.
Tak sedikit warganet yang menganggap bahwa PSI hanyalah jelmaan PDI Perjuangan, sebuah partai senior di perpolitikan Indonesia, karena dianggap memiliki sejumlah kemiripan. Warganet menilai bahwa meskipun PSI berisikan kader-kader berusia muda, mereka justru lebih dekat ke lingkaran kekuasaan, yang diisi oleh generasi tua, juga termasuk PDI Perjuangan, alih-alih kepada masyarakat umum.
Baru-baru ini, muncul juga istilah “gubernur giveaway”. Rupanya, istilah itu ditujukan kepada Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono. “Giveaway” merupakan istilah dalam dunia pemasaran media sosial, di mana suatu merek memberikan hadiah kepada konsumen secara cuma-cuma dengan tujuan agar merek tersebut makin dikenal oleh masyarakat luas.
Seperti diketahui, Heru terpilih menjadi Pj Gubernur DKI Jakarta bukan melalui mekansime pemilihan umum, melainkan melalui penunjukkan langsung dari Presiden Jokowi. Ia dilantik pada 17 Oktober 2022 lalu menggantikan posisi Anies Baswedan yang sudah habis masa jabatannya.
Istilah “gubernur giveaway” kembali mencuat baru-baru ini ketika Pemprov DKI Jakarta mengeluarkan kebijakan penutupan putaran balik (u-turn) di pertigaan Simpang Santa, Jakarta Selatan. Kritik warganet langsung tertuju kepada Heru dan menyindirnya dengan sebutan “gubernur giveaway”.
Plesetan yang tak kalah unik tertuju pada organisasi kegamaan Islam terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama (NU). Alih-alih menggunakan nama asli NU, warganet lebih memilih menggunakan istilah “Newscastle United”, yang apabila disingkat juga menjadi “NU”. Newcastle United adalah klub sepak bola asal kota Newcastle, Inggris, di mana salah satu legenda sepak bolanya, Alan Shearer, pernah merumput di sana.
Sebutan Newcastle United makin ramai usai Rais Syuriah Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU di Australia dan Selandia Baru, Prof. Nadirsyah Hosen atau Gus Nadir, menulis ungkapan kontroversial di Twitter.
“Dlm fiqh, lebaran itu ikut keputusan pemerintah. Secara aturan bermasyarakat, Pemerintah gak boleh melarang yg lebarannya berbeda. Tapi yg berbeda jg harus bertenggang rasa. Pakai fasilitas sendiri aja. Jgn pakai fasilitas publik atau milik pemerintah. Gampang kan toleransi itu,” cuitnya melalui akun Twitter @nad_dirs pada Senin, (17/4/2023).
Cuitannya itu memantik sejumlah tanggapan dari pengguna Twitter. Beberapa pengguna menilai bahwa apa yang diungkap Gus Nadir berseberangan dengan nilai toleransi, dan justru malah makin mengentalkan kesan eksklusif organisasi keagamaan tertentu saja. Di tengah-tengah diskusi yang berjalan ini, istilah “Newcastle United” kemudian juga ikut bertebaran.
Pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi, mengungkapkan bahwa upaya warganet menyamarkan objek kritiknya dengan istilah atau sebutan lain, misalnya mengganti “Indonesia” dengan “Wakanda”, cukup membantu mereka terhindar dari jeratan UU ITE.
“Ketika dibuat dalil [hukum], kita kan enggak nyebut Indonesia, meskipun kalau mau digali lagi intensinya gimana, tapi kan susah orang, tapi itu bermaksud Indonesia, kan? Nuduh seperti itu kan juga susah, ya,” kata Ismail kepada Gatra.com Selasa, (18/4/2023).
Selain “Wakanda”, kata Ismail, warganet juga sering menggunakan istilah “Konoha” untuk merujuk pada Indonesia. Konoha atau Konohagakure merupakan sebuah desa fiktif dalam seri animasi Jepang, Naruto, yang juga menjadi desa di mana karakter-karakter utama dalam animasi itu, seperti Naruto, Sasuke, dan Hinata, tinggal dan tumbuh berkembang menjadi seorang ninja yang handal.
Lebih lanjut, Ismail mengatakan bahwa fenomena yang terjadi ini menunjukan bahwa warganet merasa tidak aman ketika memberikan kritik kepada otoritas pemerintahan. Terlebih lagi tak sedikit kritik-kritik itu berujung pada tuntutan hukum. “Itu bukan sekali dua kali. Itu sudah sangat sering terjadi. Ini pun membuat netizen merasa enggak nyaman,” katanya.
Pengamat medsos lainnya, Enda Nasution, mengatakan bahwa secara umum kritik, sindiran, atau sarkasme semacam itu tak hanya terjadi sekarang. Ia mengatakan bahwa upaya-upaya kritik seperti ini sudah muncul ketika awal medsos muncul beberapa tahun silam, dan tak hanya berfokus pada kritik terhadap otoritas pemerintahan saja.
“Dari dulu pertama kali muncul media sosial juga sudah ada ide itu, ide untuk menjadi semacam pilar kelima demokrasi. Ini kan suara publik yang muncul. Semua bisa dikritik. Bukan hanya pemerintah. Misalnya teman-teman media juga ketika melakukan kesalahan juga sama diungkapkan kesalahannya,” kata Enda.
Lebih lanjut, Enda merinci bahwa memang biasanya kritik warganet lebih sering ditujukan kepada sosok, figur, atau instansi yang menunjukan kesan kemapanan. Tak hanya pemerintahan, tetapi juga sosok-sosok selebriti. “Misalnya celebrity culture. Kan itu dijulidin juga [oleh warganet]. Jadi segala sesuatu bisa dikomentari lah intinya,” katanya.
Dalam konteks kritik terhadap otoritas pemerintahan, Enda melihat bahwa warganet sering kali menggunakan istilah-istilah sindiran seperti “Wakanda”, “Konoha”, hingga “negara +26”. Istilah “+26” merupakan plesetan dari “+62” yang merupakan kode telepon Republik Indonesia.
“Ini bagian dari style aja. Menurut saya begini, setiap penyampaian kan ingin diperhatikan. Jadi bagian dari style, bagian dari semacam kode, kalau kita tuh anak sosmed, dalam bahasanya menggunakan kode-kode yang lumrah digunakan. Mungkin bukan hanya bahasa sosmed, tapi juga bahasa anak muda,” ungkap Enda.
Namun di sisi lain, Endi berpandangan bahwa pihak otoritas yang tersinggung juga akan megalami kesulitan untuk menjerat pengguna medsos yang mengungkapkan kritik secara implisit. Ia mengatakan, kesulitan itu tercermin dari sulitnya otoritas pemerintahan yang mau melaporkan dalam mengidentifikasi pengguna medsos yang melempar kritiknya, terlebih apabila pengguna medsos tersebut berupa akun anonim.
“Jadi enggak bisa akun ini aku laporin. Enggak bisa karena kalau mau laporan ke polisi itu harus jelas siapa yang dialporkan. Ada namanya, ada alamatnya. Bagian yang mana yang dianggap menghina atau mencemarkan nama baik, dan lain sebagainya,” kata Enda.
Terlebih lagi, menurut Enda, objek kritik yang berhak melaporkan pengguna medsos haruslah seorang pribadi atau individu. Tidak bisa sebuah instansi, lembaga, nama kota, nama partai, atau nama negara.
Meski begitu, Enda berpesan kepada para pengguna agar tetap berhati-hati dalam melontarkan kritik melalui ruang maya. Ia menitikberatkan kepada pengguna medsos agar mengkritik tanpa memfitnah.
“Jangan menyebarkan fitnah. Jangan menyebarkan hoaks. Apalagi yang sifatnya pada pribadi seseorang atau ujaran kebencian yang punya risiko mengancam diri sendiri maupun orang lain atau pun harta benda,” kata Enda.
“Kalau sekadar gaya bahasa, sarkasme, itu sih mungkin bagian dari kehidupan bersosial media dan anak muda di Indonesia saat ini,” tandasnya.