Home Pendidikan Jalan Terang Untuk Berbenah Bagi Guru dan Sekolah

Jalan Terang Untuk Berbenah Bagi Guru dan Sekolah

Jakarta, Gatra.com - Bagi Trias Agata Roni, menjadi seorang guru bukan berarti menutup diri untuk terus belajar. Wanita yang kesehariannya mengajar kelas bahasa Inggris di SMA YPK Diaspora, Kotaraja, Jayapura ini menjadi contoh bahwa perjalanan seorang guru untuk menambah kapasitas diri sejatinya tidak memiliki batasan.

Sudah sejak lama, Trias mendambakan adanya kegiatan-kegiatan yang bisa menambah kapasitas dirinya sebagai seorang pengajar. Selama ini, ia merasa diskusi dan sekadar berbagi pengalaman antar sejawat belum ampuh membuka inspirasinya terhadap cara mengajar yang baik. Tak mengherankan, sejak pertama kali mengajar tahun 2015 silam, Trias mengaku bahwa cara dirinya mengajar di kelas belum sepenuhnya bisa memberikan imbas kepada murid-muridnya.

Trias cenderung galak dalam menerapkan metode belajar untuk siswanya di kelas. Beri tugas, beri materi, selesai. Namun rutinitas itu yang nyatanya menggugah nuraninya sebagai pengajar. “Saya kok merasa tiap kelas saya datar. Tidak ada sesuatu yang bisa membuat siswa tertarik belajar,” ujar Trias Kepada GATRA beberapa waktu lalu.

Fakta ini seolah menambah dahaga Trias akan adanya intervensi yang benar-benar berdampak terhadap kualitas pembelajaran di kelasnya. Karena ia sadar betul, sebagai guru, tanggung jawab mencerdaskan anak bangsa berada di pundaknya. Ia tak bisa selamanya diam ditempat dan tak melakukan perubahan.

Ikhtiarnya menemui titik terang tatkala sebuah informasi seleksi Guru Penggerak kebetulan hadir di linimasa ponsel pintarnya. Dalam hati Trias, hal ini bisa jadi jawaban akan keresahannya dalam mengajar selama ini.

Keresahan ini yang kemudian memupuk niat Trias untuk teguh mencari cara menambah kapasitas pengajarannya sebagai guru. Hal ini juga yang membuatnya penasaran untuk mengikuti seleksi sebagai Guru Penggerak. Tak muluk-muluk, ia hanya ingin mendapatkan tips dan inspirasi bagaimana ia bisa mengajar dengan pola yang menarik. Sembilan bulan pelatihan dan pendampingan sebagai Guru Penggerak nyatanya membuka cakrawala baru bagi Trias tentang paradigma pembelajar.

Sebelum menjadi guru penggerak, pakem Trias dalam mengajar melulu hanya menyoal tentang target materi di buku teks selesai. Padahal, menjadi seorang guru harus memiliki pemahaman lebih dalam memetakan minat dan kebutuhan siswa.

“Sekarang berubah. Dari yang sederhana saja seperti awal kelas ini dimulai dengan gembira. Kita mulai dengan games supaya memancing siswa untuk semangat. Saya bersyukur ikut guru penggerak. Saya jadi lebih tahu cara memacu siswa lebih aktif di kelas,” paparnya.

Tak jauh berbeda dengan Trias, Dua Guru Penggerak lainnya di Sekolah SMA Gabungan, Jayapura, Dolvina Lea Ansanay dan Santi Julianti Senduk, pun berpandangan serupa. Intervensi lewat Guru penggerak, nyatanya mampu menambah cakrawala guru terhadap paradigma pembelajaran yang bisa meningkatkan keaktifan siswa dalam belajar.

Salah satunya, pengedepanan pembelajaran berbasis proyek atau Project Based Learning di dalam kelas. Lea menyebut, cara belajar berbasis proyek yang diterapkan ada pada pembuatan Es Krim berbahan dasar sagu. Melalui model belajar itu, Siswa justru terangsang untuk ingin lebih tahu banyak tentang ilmu-ilmu yang selama ini hanya disampaikan secara teori.

“Misal, siswa lebih punya daya kritis tentang apakan Es Krim Sagu ini bisa jadi, Lalu apakah bisa dijual, dan lain sebagainya. Pertanyan ini merupakan bentuk penumbuhan rasa kritis mereka terhadap suatu hal,” papar Lea.

Sementara dari Santi, pembelajaran diferensiasi pun membuat siswa dapat dengan bahagia memilih pembelajaran yang sesuai dengan minat dan keahlian siswa itu sendiri. “Yang paling penting adalah bagaimana siswa lebih aktif dan bahagia dalam belajar. Karena sekarang ini fokus belajar yang paling penting adalah membuat siswa senang sekolah,” ujarnya.

Munculkan Ekosistem Yang Mengimbas

Tak jauh berbeda dengan pengharapan guru, hadirnya intervensi atas perkembangan mutu pendidikan pun sudah lama dicita-citakan sekolah di tanah air. Hadirnya program peningkatan kapasitas pendidikan

Paradigma pendidikan baru diperlukan guna mengakselerasi peningkatan ekosistem dan mutu pembelajaran di sekolah. Titik transformasi yang paling krusial, adalah bagaimana peningkatan kapasitas sumberdaya manusia pengajar di sekolah bisa dilakukan dan peningkatan tersebut dapat mengimbas satu sama lain. Intervensi diperlukan hadir dalam rangka mengubah paradigma pembelajaran supaya lebih mengedepankan aspek kompetensi, minat, dan kapasitas para peserta didik.

Sejatinya, Kemendikbudristek selaku leading sector di bidang pendidikan tanah air telah menawarkan program Sekolah Penggerak. Program ini dimaknai sebagai upaya menggenjot naiknya mutu pembelajaran di sekolah melalui berbagai intervensi, mulai dari pendampingan dan pelatihan kapasitas kepada kepala sekolah hingga pemberian dana khusus, sebagai upaya pemantik perubahan dalam kualitas pembelajaran.

Sejak diluncurkan dalam payung besar program Merdeka Belajar oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim, Baik sekolah dan guru penggerak diharapkan hadir sebagai jawaban atas dorongan kuat insan pendidikan yang ingin bertransformasi menuju ekosistem yang kian berkualitas.

Sebagai salah satu bagian Sekolah Penggerak, SMA YPK Kotaraja, Jayapura, mendapatkan imbas dari adanya intervensi khusus tersebut. Kepala Sekolah SMA YPK Kotaraja, Alfrets, bercerita, dalam beberapa tahun terakhir peningkatan mutu pendidikan di sekolahnya cenderung jalan di tempat. Dalam identifikasinya, biang keladi dari adanya kondisi tersebut adalah minimnya keaktifan guru dalam berinovasi mengenai cara pembelajarannya di kelas. “Karena selama ini guru-guru belum ada pelatihan penambahan kapasitas mereka,” ujar Alfrets kepada GATRA, beberapa waktu lalu.

Latar belakang masalah ini yang kemudian ia pandang selaras dengan visi misi sekolah penggerak. Menurutnya, pendampingan dan pelatihan yang dibawa program tersebut akan mampu menumbuhkan ekosistem pembelajaran yang berpusat pada siswa. Dari pijakan tersebut, nantinya timbul sebuah paradigma pendidikan baru dari para tenaga pengajar bahwa proses pembelajaran akan akan lebih berorientasi pada siswa sebagai porosnya.

“Para pendidik pun keluar dari cara lama. Ada perubahan cara pembelajaran dimana kita harus lebih mengutamakan kebutuhan belajar dari siswa. Siswa pun akan lebih aktif belajar dan itu lebih baik,” tegasnya.

Benar saja, Alfrets mengakui komunitas sekolah penggerak yang terbentuk pun menjadi salah satu penyokong SMA YPK Kotaraja untuk bertransformasi. Ia menyebut saat ini tercipta sebuah kemauan dari para guru untuk terus belajar dan menambah kapasitas.

Yang paling kentara, adalah bagaimana para guru sekolah yang dipimpinnya tersebut menerima dan mampu beradaptasi dengan tantangan digitalisasi pendidikan. Berkat adanya komunitas pendampingan dan pelatihan kapasitas guru.

“Sekarang guru mulai lebih aktif. Salah satunya dalam mengembangkan modul ajar sendiri untuk di kelas. Dengan guru yang aktif, maka siswa pun akan terdorong untuk aktif dan kreatif,” jelasnya.

Alfrets pun berujar, bahwa cita-cita ekosistem pendidikan tersebut lah yang nantinya ingin diwujudkan di 3 tahun sebagai sekolah penggerak. Ia berharap nantinya ekosistem pendidikan ini yang bisa ditularkan di wilayah Papua. “Kami berharap semua sekolah pun bisa merasakan manfaat dan bermanfaat. Supaya pendidikan dan pembelajaran kita makin lebih baik dan diminati,” tuturnya.

Pembelajaran berdiferensiasi jadi kunci paradigma baru pendidikan. Pembelajaran tersebut nantinya akan menitikberatkan pada kesiapan, minat, dan profil belajar siswa baik dari segi konten maupun proses belajar.

Kepala Sekolah SMA Gabungan, Jayapura, Sandra Titihalawa, mengatakan pembelajaran berdiferensiasi menjadi penggairah aktifnya suasana belajar mengajar di kelas. Selama ini, proses belajar satu arah memang menjadi momok jalan di tempatnya kualitas pendidikan tanah air.

“Pendidikan berdiferensiasi diawali dengan guru mengajak siswa. Guru tidak hanya jadi fasilitator, sehingga siswa pun menjadi aktif,” kata Sandra.

Pendidikan berdiferensiasi pun yang menjadi ruh dari Sekolah Penggerak. Menurut Sandra, hal ini dikarenakan telah adanya intervensi berupa pendampingan dan pelatihan guru yang hadir kala sekolahnya berhasil menjadi bagian dari sekolah penggerak.

Ekosistem yang terbangun itu pula hadir karena terbentuknya pola praktisi, sebuah komunitas guru yang secara internal aktif membagikan pola pembelajaran yang merangsang siswa untuk aktif dalam kegiatan belajar mengajar.

“Dimotori oleh Guru Penggerak, Para guru kemudian saling memberdayakan satu sama lain. Guru saling belajar bagaimana membuat modul ajar agar siswa bisa mengeksplor minat dan keinginan belajar mereka,” tuturnya.

Perubahan yang dimulai dari guru ini yang diakui Sandra membuat antusiasme siswa untuk belajar makin tinggi. Jika sebelumnya, siswa hanya diam, dengar, dan pulang. Tapi melalui pembelajaran berdiferensiasi, ekosistem belajar yang aktif kemudian muncul di tiap kelas.

“Perubahan ini dimulai dari dalam diri guru. Saya pun senang ketika minat belajar guru tinggi. Karena ini penting agar pola pembelajar kita berporos pada minat dan keinginan siswa untuk datang sekolah,” bebernya.

187