Jakarta, Gatra.com – Koordinator Simpul Aktivis Angkatan (Siaga) 98, Hasanuddin, mencurigai adanya upaya mengesampingkan dan atau mengambil alih peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penindakan kekayaan yang tak wajar atau tidak sah (illicit enrichment) dalam RUU Perampasan Aset.
Hasanuddin di Jakarta, Minggu (16/4), mengatakan, pihaknya mecurigai pengambil alihan peran KPK dalam RUU Perampasan Aset karena RUU tersebut tidak memuat pasal khusus yang mengatur perampasan aset menjadi kewenangan KPK.
Selain itu, lanjut Hasanuddin, dalam RUU Perampasan Aset tersebut tidak mengikutsertakan KPK dalam pembahasan dan penandatangan draft RUU tersebut, meskipun KPK melalui juru bicaranya menyatakan bahwa keitidakikutsertaan KPK dengan pertimbangan draft ini kewenangan eksekutif, dan KPK adalah lembaga independen penegak hukum.
Baca Juga: Mahfud MD: Mari Kita Dukung RUU Perampasan Aset!
Hasanuddin menyampaikan, pihaknya memaknai pernyataan tersebut sebagai sikap protes KPK dalam bentuk lain. Menurutnya, jika pengaturan kewenangan diberikan kepada KPK sebagai lembaga negara yang bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, maka ini menjadi malapetaka bagi penyelenggara negara, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
“Sebab, Kedeputian Pencegahan KPK dapat mengajukan perampasan harta kekayaan tak wajar (ellicit enrichment) penyelenggara negara kepada pengadilan secara langsung,” katanya.
Ia menjelaskan, salah satu aset yang dapat dirampas adalah kekayaan tak wajar pejabat publik sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Ayat (1) huruf k draft RUU Perampasan Aset. Pasal ini menyatakan, "Aset pejabat publik yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau yang tidak seimbang dengan sumber penambahan kekayaannya dan tidak dapat dibuktikan asal usul perolehannya secara sah maka aset tersebut dapat dirampas berdasarkan undang-undang ini”.
Namun demikian, lanjut dia, di dalam RUU Perampasan Aset tidak ada pasal yang mengatur secara khusus mengenai perampasan aset tersebut diserahkan kepada KPK.
Siaga 98, kata Hasanuddin, berpendapat bahwa semestinya kewenangan itu diberikan kepada KPK sesuai dengan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) juncto Pasal 69 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Melalui Pasal 69 inilah KPK memiliki tugas menerima dan memeriksa Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN),” ujarnya.
Namun dalam hal terdapat harta kekayaan tak wajar penyelenggara negara, lanjut Hasanuddin, KPK harus menyelidiki dan membuktikan pidana asalnya, sehingga perampasan aset harus terbukti pidana asalnya.
Karena itu, KPK dipaksa menerapkan Pasal 18 Ayat (1) huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Adapun pidana tambahan, “Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut".
“Perampasan aset sebagai bagian dari pemidanaan. Melalui Draft RUU Perampasan Aset ini, KPK memiliki kewenangan mengajukan perampasan in rem sebagai bagian dari padanan pembuktian terbalik,” katanya.
Baca Juga: Pemerintah Harus Pertegas Filosofi RUU Perampasan Aset
Sebab itu, Draft RUU Perampasan aset dari tindak pidana korupsi atau Penyelenggara Yang Memiliki Harta Tak Wajar berdasarkan LHKPN sejatinya menjadi kewenangan KPK.
“Ini sejalan dengan Pasal 1 Ayat (2) aset tindak pidana adalah aset yang diperoleh atau diduga berasal dari tindak pidana atau sarana dalam melakukan tindak pidana Draft RUU Perampasan Aset,” katanya.
Atas dasar itu, perampasan aset sebagaimana dimaksud Draft RUU Perampasan Aset tidak bersifat serta merta tanpa kausalitas sebab-akibat, landasan historis, dan keterkaitan antarperaturan perundang-undangan, khususnya perampasan aset dari tindak pidana korupsi dan penyelenggara negara.