Jakarta, Gatra.com - Sudah satu tahun lebih, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menunggu kepastian pemerintah untuk membayar hak mereka atas rafaksi minyak goreng pada Januari 2022 lalu. Namun, Aprindo menyebut proses pembayaran tersebut mandek di Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Sebagai informasi, Aprindo pada periode 19-31 Januari 2022 lalu telah melaksanakan mandat Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 3 Tahun 2022 untuk menjual minyak goreng kemasan premium dengan harga eceran tertinggi (HET) Rp14.000 per liter. Padahal harga pembelian minyak goreng saat itu telah terlampau tinggi hingga Rp18.000 per liter.
Aprindo mencatat, total biaya rafaksi minyak goreng mencapai sekitar Rp344 miliar. Adapun dalam beleid yang berlaku saat itu menyebut selisih harga yang ditalangi oleh Aprindo akan dibayarkan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menggunakan dana dari pungutan ekspor Crude Palm Oil (CPO).
Ketua Umum Aprindo, Roy Nicholas Mandey menilai Kementerian Perdagangan tidak bertanggung jawab terhadap kebijakan yang dibuat. Bahkan, hingga kini menurut Roy, tidak ada transparansi sejauh mana proses yang dilakukan Kemendag dan itikad baik untuk menyelesaikan sengketa utang tersebut.
"BPDPKS mengatakan akan membayar setelah ada hasil rekomendasi dan verifikasi dari Kemendag. Tapi Menteri Perdagangan menahan (proses)," kata Roy saat ditemui awak media di Jakarta, Kamis (13/4).
Bahkan, Roy mengatakan Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan justru memberikan opsi yang sulit untuk masalah tersebut. Diketahui, Zulhas mengusulkan agar Aprindo mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terhadap Permendag Nomor 3 Tahun 2022.
Zulhas, kata Roy menganggap pembayaran rafaksi minyak goreng sulit dilakukan lantaran Permendag Nomor 3 Tahun 2022 sudah tidak berlaku lagi. Karena itu, Kemendag menganggap pembayaran akan lebih mudah bilamana nantinya Aprindo memenangkan gugatan di PTUN.
"Menurut pemerintah (Kemendag) kalau Permendag Nomor 3 sudah batal berarti batal juga bayarnya. Gak bisa gitu, utang tetap utang, harus dibayar," ucap Roy.
Pandangan Kemendag yang seakan lari dari tanggung jawab itulah, kata Roy membuat asosiasi berinisiatif akan melakukan aksi berhenti menjual minyak goreng kemasan di seluruh ritel modern yang menjadi anggota. Adapun saat ini anggota Aprindo terdiri dari 31 perusahaan ritel dengan total 48.000 toko ritel di seluruh Indonesia.
Menurut Roy, sikap pemerintah yang abai terhadap kewajibannya membayar rafaksi tersebut telah menurunkan kepercayaan pengusaha terhadap si pembuat kebijakan. Bahkan, ke depannya pelaku usaha akan sulit membantu pemerintah dalam hal stabilitas harga dan pasokan.
"Kita pengusaha tidak ada unsur mengancam. Cuma minta pemerintah membayar saya. Kalau tidak tahu kepastian bayarnya, kita akan menghentikan pengadaan minyak goreng," tutur Roy.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Aprindo, Setiyadi membeberkan bahwa sebenarnya dana untuk membayar rafaksi minyak goreng tersedia di BPDPKS. Hanya saja, pengelola dana pungutan ekspor sawit itu mengatakan belum bisa membayar bilamana belum ada hasil verifikasi dan rekomendasi dari Kemendag.
"Kita menyambangi beberapa instansi dengan BPDPKS, pada prinsipnya mereka juga mengatakan dana ini sudah tersedia. Cuma hanya perlu surat rekomendasi dan hasil verifikasi dari Kemendag, kalau surat itu sudah ada, BPDPKS langsung menggelontorkan dana itu. Jadi dananya memang sudah ada," beber Setiyadi dalam kesempatan yang sama.
Adapun ihwal waktu penghentian penjualan minyak goreng di toko ritel modern, kata Setiyadi masih dalam proses diskusi bersama anggota Aprindo. Namun, ia memastikan aksi itu tidak akan dilakukan dalam waktu dekat, mengingat kebutuhan masyarakat jelang Lebaran Idulfitri tidak bisa diganggu.
"Karena kalau ini dilakukan saat lebaran akan mengganggu kenyaman masyarakat merayakan lebaran. Tapi kami tetap akan memantau dan memusyawarahkan dengan anggota. Kalau rafaksi tidak dibayar, ini sangat tidak fair buat kami," imbuh Setiyadi.