Oleh: Rosidi*
Pekan kedua Desember 2022 M lalu, di salah satu ruang kuliah Universitas Muria Kudus (UMK), Jawa Tengah, penulis berkesempatan menghadiri refleksi atas undangan Syafiul Muzid ST MCs, salah satu dosen pembimbing mahasiswa peserta program Pertukaran Mahasiswa Merdeka dari berbagai daerah di Indonesia.
Lebih dari 30 mahasiswa terlibat aktif dalam forum tersebut. Mereka berasal dari Universitas Musamus Merauke, Universitas Papua, Universitas Pattimura Maluku, Universitas Mataram (NTB), Universitas Nusa Cendana (Kupang), Universitas Lambung Mangkurat (Kalimantan), Universitas Negeri Makassar, Universitas Haluoleo, Universitas Negeri Medan, Universitas Katholik Santo Thomas (Medan), Universitas Prima Indonesia (Medan), dan Universitas Bina Insani (Lambung).
Kesempatan itu, mendiskusikan Gusjigang (Bagus, Ngaji, dan Berdagang), sebuah pesan budaya yang dikembangkan oleh masyarakat Kudus, yang diambil dari nilai-nilai (falsafah) yang diwariskan (diajarkan) oleh Kanjeng Sunan Kudus, salah satu anggota Walisongo.
Selain nilai-nilai Gusjigang, kesempatan itu juga mendiskusikan tentang salah satu sosok istimewa yang sangat cerdas dan memiliki banyak keteladanan; RMP Sosrokartono. RMP Sosrokartono adalah kakak RA Kartini sekaligus salah satu tokoh bangsa yang merupakan salah satu guru dari Ir Soekarno (Presiden Pertama Republik Indonesia).
Forum refleksi itu menjadi menarik, lantaran keaktifan para mahasiswa dari berbagai daerah tersebut dalam mengemukakan perspektif atau pandangan-pandangannya, sehingga diskusi berjalan dengan sangat menyenangkan dan “penuh warna”.
Kaji Budaya Lokal
Ada hal menarik dari yang penulis rasakan ketika ikut “terlibat” dalam diskusi dengan para mahasiswa peserta program Pertukaran Mahasiswa Merdeka dari berbagai daerah di Indonesia di salah satu kampus swasta terbesar di Kabupaten Kudus itu.
Pertama; kaji budaya lokal. Mengkaji budaya lokal bagi para mahasiswa peserta program Pertukaran Mahasiswa Merdeka, tentu akan menjadi pengalaman yang tidak hanya menarik, tetapi juga akan memberikan pemahaman yang baik kepada mereka, sehingga mereka akan semakin sadar betapa kayanya Indonesia ini akan budaya yang patut dibanggakan, sehingga mesti dirawat sebaik mungkin.
Kedua; teladani tokoh lokal. Hal lain yang dikaji oleh para mahasiswa peserta program Pertukaran Mahasiswa Merdeka, adalah menggali dan mengkaji keteladanan dari tokoh-tokoh lokal di mana mahasiswa diterjunkan.
Ya, perlu disadari, bahwa banyak sekali tokoh-tokoh lokal di daerah-daerah di Indonesia ini yang bisa sangat menginspirasi, sehingga bisa menjadi teladan bagi generasi penerus bangsa. Namun untuk menebar keteladanan tokoh-tokoh lokal itu, tentu membutuhkan kajian serius. Nah, itulah salah satu bagian penting yang ikut “diperankan” mahasiswa peserta program Pertukaran Mahasiswa Merdeka.
Maka bisa dibayangkan, jika setiap mahasiswa peserta program Pertukaran Mahasiswa Merdeka menulis sebuah catatan serius tentang tokoh-tokoh lokal, syukur bisa diterbitkan menjadi sebuah buku, maka akan menjadi sebuah karya yang sangat menarik.
Ketiga; penghargaan atas perbedaan. Dalam forum di mana saya hadir di depan para mahasiswa peserta program Pertukaran Mahasiswa Merdeka itu, mereka berasal dari Suku yang beragam, juga memeluk agama yang berbeda.
Maka, kesempatan mengikuti program Pertukaran Mahasiswa Merdeka ini juga menjadi salah satu kesempatan luar biasa untuk semakin belajar menghargai perbedaan dan keragaman, karena pada dasarnya –sebagaimana kita pahami- perbedaan dan keragaman itu adalah sunnatullah (natural law).
Generasi Ramah dan Moderat
Syafiul Muzid ST MCs, menyampaikan, bahwa Pertukaran Mahasiswa Merdeka ini menjadi program yang sangat penting. Program tersebut pun dinilainya bisa menjadi salah satu solusi atas menjamurnya dan dengan gampangnya orang melakukan ujaran kebencian dan bullying di era gempuran media sosial (medsos) dan kebebasan berpendapat ini.
Pandangan Syafiul Muzid itu berdasar atas pengalamannya mendampingi para mahasiswa program Pertukaran Mahasiswa Merdeka di UMK, Kudus, Jawa Tengah yang membuat jargon “Bertukar Sementara Bersaudara Selamanya” yang dimodifikasi dari jargon resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), yakni “Bertukar Sementara Bermakna Selamanya”.
Menilik dari fakta tersebut, maka Pertukaran Mahasiswa Merdeka juga berdampak positif dalam menanamkan nilai-nilai moderatisme di kalangan para peserta program itu. Dengan demikian, juga berdampak positif dalam membangun generasi yang ramah.
Maka, Pertukaran Mahasiswa Merdeka ini menjadi salah satu program yang penting untuk dijaga keberlanjutannya, karena ia juga sekaligus bisa menjadi solusi untuk menangkal gerakan radikal yang marak berkembang di tanah air.
Akhirnya, beragam aktivitas mahasiswa peserta Pertukaran Mahasiswa Merdeka dalam menggali keragaman budaya dan keteladanan tokoh-tokoh lokal ini layak mendapatkan apresiasi dan didukung keberlanjutannya, karena ia bisa menjadi salah satu manifestasi ikhtiar dalam merawat Indonesia. (*)
*Penulis adalah staf pengajar MA NU Tasywiquth Thullab Salafiyah (TBS) Kudus, Jawa Tengah dan mentor Cendekia Baznas Ma’had Aly TBS Kudus.