Menyongsong Mata Uang Baru BRICS
Oleh:
Carmelo Ferlito & Alfian Banjaransari*
Dunia moneter seolah bergerak ke arah yang semakin multipolar. Betapa tidak, beberapa negara tengah menjajaki kemunculan kutub ekonomi baru. Pada 2014, dengan modal US$50 miliar, negara-negara yang dikenal dengan akronim BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan) meluncurkan New Development Bank atau Bank Pembangunan Baru sebagai alternatif dari Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional. Tak hanya itu, mereka juga meluncurkan mekanisme likuiditas bernama Contingent Reserve Arrangement untuk mendukung anggotanya yang tengah terlilit utang. Bank BRICS tersebut kini sudah menerima anggota baru yang ditandai masuknya Mesir, Uni Emirat Arab, Uruguay, dan Bangladesh pada 2021.
Negara-negara BRICS sendiri tengah menggodok wacana mata uang bersama untuk menunjang kepentingan ekonomi mereka. Mata uang baru ini nantinya akan didasarkan kepada mata uang blok lima negara ini. Malahan, baru-baru ini pada 28 Maret 2023 Brasil dan Cina telah sepakat untuk melakukan transaksi bilateral dengan menggunakan mata uang mereka sendiri.
Lebih lanjut, pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral se-ASEAN baru saja berlangsung. Salah satu agenda utama pertemuan tersebut adalah upaya untuk melepaskan diri dari ketergantungan terhadap mata uang Dollar, Euro, Yen, dan Pound serta peralihan menuju mata uang lokal. Pertemuan tersebut mendiskusikan upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap mata uang global melalui skema LCT atau (Local Currency Transaction) scheme.
Hal ini menandakan perluasan sistem pembayaran digital lintas negara ASEAN yang memungkinkan negara-negara ASEAN menggunakan mata uangnya sendiri untuk perdagangan. Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand telah mencapai kesepakatan pada November 2022. Indonesia sendiri melalui Bank Indonesia (BI) telah mengungkapkan ambisinya meluncurkan sistem pembayaran nasional dalam waktu dekat.
Dinamika di dunia moneter internasional ini –yang sejatinya merupakan perpanjangan dari dinamika geopolitik– sebetulnya patut kita apresiasi, karena merupakan upaya dari negara-negara untuk membangun sistem keuangan global yang lebih stabil. Betapa tidak, sejak nilai dolar dilepaskan dari emas pada 1971, dunia didera inflasi tinggi berkepanjangan, yang kerap berujung ketidakstabilan dan daya beli yang terus tergerus.
Jika kita tengok ke belakang, munculnya mata uang Euro pada dekade 1990-an disambut hangat sebagai kompetitor dollar dengan disiplin moneter yang lebih ketat. Kemunculan mata uang baru di (baik di BRICS maupun ASEAN), jika direncanakan dengan matang, akan memperkuat jalan menuju stabilitas moneter global. Terlebih bila kemunculan mata uang baru juga dibarengi dengan kompetisi yang memungkinkan individu memilih sendiri mata uang yang akan digunakan untuk transaksi sehari-hari. Kompetisi ini akan mendorong stabilitas moneter global.
Meski demikian, keraguan juga tetap membayangi. “Tanpa keyakinan sebagian besar publik bahwa sejumlah mekanisme menyakitkan diperlukan untuk kestabilan, kita tidak banyak berharap kepada otoritas yang memiliki kekuasaan untuk menentukan jumlah uang yang beredar untuk menahan tekanan atau godaan untuk uang murah”, ungkap ekonom F.A. Hayek dalam karyanya Choice in Currency. A Way to Stop Inflation: 1976.
Salah satu masalah terbesar mata uang stabil adalah monopoli yang dimiliki pemerintah. Kenapa tidak membiarkan masyarakat memilih sendiri mata uang yang hendak digunakan? Hayek (1976) lebih lanjut menyarankan agar negara “menahan diri dengan tidak menghalangi penggunaan mata uang sendiri -atau mata uang lain- secara bebas, termasuk untuk jual beli antara dua belah pihak, atau untuk keperluan pembukuan akuntansi”.
Mengapa demikian? Dalam sistem mata uang yang bebas, masyarakat akan menolak menggunakan mata uang nasional yang terus terdepresiasi. Karenanya, persaingan akan mendorong penggunaan mata uang yang nilainya cenderung stabil. “Kemungkinannya adalah mata uang negara-negara yang menempuh kebijakan moneter yang bertanggung jawab akan secara gradual menggantikan mata uang lain yang tidak dapat diandalkan. Reputasi integritas keuangan akan menjadi sebuah aset yang diidamkan para pengelola mata uang, karena mereka mengetahui bahwa sedikit saja penyimpangan dari integritas akan mengurangi permintaan atas produknya (Hayek, 1976).
Poin yang hendak penulis sampaikan adalah dinamika terkini dari dunia moneter internasional dapat membawa manfaat, alih-alih ketegangan geopolitik, namun hanya jika dibarengi dengan keterbukaan ekonomi nasional untuk persaingan antar mata uang. Dengan cara ini, kemunculan mata uang ASEAN atau BRICS akan menjadi angin segar bukan karena sokongan politik namun betul-betul karena keunggulan kompetitifnya.
Jika mata uang baru ini kelak tidak dibarengi dengan keterbukaan ekonomi untuk kompetisi, maka mata uang baru tersebut hanya akan menjadi pion hegemoni para pengusungnya, kekuatannya sangat bergantung kepada blok geopolitik asalnya. Hal ini akan menyebabkan mata uang tersebut bukan saja tidak stabil, namun juga tidak berbeda dengan mata uang lama yang hendak digantikan.
Tanpa kompetisi, mata uang ASEAN atau BRICS akan sangat tergantung kepada “oksigen” politis penyokongnya. Di lain sisi, jika kemunculan mata uang baru dibarengi dengan kebijakan moneter disiplin yang tak mampu ditembus kepentingan geopolitik dan moneter, maka mata uang tersebut akan memenangkan hati (dan dompet) penggunanya.
*Carmelo Ferlito merupakan CEO dari Center for Market Education (CME). Alfian Banjaransari merupakan Country Manager Indonesia untuk Center for Market Education