Jakarta, Gatra.com – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata, membantah anggapan bahwa seolah-olah KPK tidak bekerja ketika tidak melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pada 2023 saat Brigjen Pol. Endar Priantoro masih menjabat Direktur Penyelidikan.
“Tidak benar bahwa seolah-olah dengan yang bersangkutan [Endar] itu sudah selesai di KPK, kemudian kita tangkap tangan, enggak,” katanya di Jakarta pada akhir pekan ini.
Meski Alexander mengakui bahwa KPK baru kali ini kembali melakukan OTT pada tahun 2023, menegaskan bahwa pihaknya terus bekerja untuk memberantas korupsi.
“Saya yakin kegiatan tangkap tangan yang kami lakukan ini prosesnya sudah lama,” ucapnya.
Ia menyampaikan, surat perintah penyelidikan (Sprinlidik) penanganan kasus Bupati Kepulauan Meranti, Muhammad Adil, tersebut sudah diteken cukup lama, atau beberapa bulan sebelumnya.
“Jadi proses lidiknya sudah zaman Pak Endar, tentu saja. Tentu itu menjadi kontribusi yang bersangkutan di dalam proses tangkap tangan ini,” ujarnya.
“Kita tidak menafikkan peran serta Pak Endar dalam kegiatan sehingga hasilnya bisa kita lakukan pada tangkap tangan ini,” katanya.
Menurutnya, OTT baru bisa dilakukan pada Kamis malam (6/4/2023), karena pihaknya harus memastikan kecukupan bukti untuk membuktikan kasus korupsi tersebut.
“Ini karena murni kecukupan alat bukti dan keyakinan dari tim ketika untuk memutuskan tangkap tangan, itu baru dilakukan pada kemarin, tanggal 6. Jadi enggak ada hubungannya dengan berakhirnya tugas Pak Endar di KPK,” katanya.
Sebelumnya, KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Bupati Kepulauan Meranti, Muhammad Adil. Dalam OTT berlangsung pada Kamis (6/4/2023) di Kabupaten Kepulauan Meranti, Siak, Kota Pekanbaru, dan Jakarta, tersebut KPK mengamankan 28 orang.
KPK kemudian menetapkan Bupati Kepulauan Meranti, Muhammad Adil, sebagai tersangka korupsi bersama Kepala SKPD, Kepala Cabang PT TM, serta orang kepercayaan Muhammad Adil, Fitria Nengsih (FN); dan Auditor Muda Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Riau, M Fahmi Aressa.
Muhammad Adil diduga menerima setoran dari para kepala SKPD Pemkab Kepulauan Meranti, fee dari PT TM, dan fee sejumlah proyek. Penerimaan itu dilakukan bersama-sama dengan Fitria Nengsih. Selain itu, Muhammad Adil juga diduga menyuap auditor BPK, M Fahmi Aressa (MFA).
Alexander mengungkapkan, bukti dugaan korupsi atau penerimaan uang dari Muhammad Adil itu sejumlah Rp26,1 miliar dari berbagai pihak. KPK akan terus mendalami apakah masih ada penerimaan lainnya atau tidak.
“Tentunya hal ini akan ditindaklanjuti dan didalami lebih lanjut oleh tim penyidik, yang terdiri dari kegiatan tangkap tangan, diamankan uang sejumlah Rp1,7 miliar yang terdiri dari Rp1 miliar yang diterima oleh auditor BPK dan selebihnya diterima dari SKPD dari pemotongan uang pengganti maupun pengsisian uang persediaan,” katanya.
Dalam kasus ini, KPK menetapkan tiga orang tersangka, yakni Bupati Kepulauan Meranti, Muhammad Adil; Kepala SKPD Pemkab Kepulauan Meranti, Fitria Nengsih; dan Pemeriksa Muda BPK Perwakilan Riau, M. Fahmi Aressa (MFA).
KPK menyangka Muhammad Adil selaku penerima suap melanggarPasal 12 huruf f atau huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021.
“Selain itu juga, MA sebagai pemberi suap melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP,” katanya.
Kemudian, Fitria Nengsih sebagai pemberi suap diduga melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021.
“MFA [M. Fahmi Aressa] sebagai penerima [suap] melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021,” katanya.