Jakarta, Gatra.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyampaikan peringatan keras kepada kepala daerah dan penyelenggara negara pascamelakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Bupati Kepulauan Meranti, Muhammad Adil, dkk.
“Ini [OTT] juga untuk memberikan peringatan kepada para kepala-kepala daerah,” kata Alexander Marwata di Jakarta akhir pekan ini.
Alexander menyampaikan, peringatan keras kepada para kepala kepala daerah, yakni guburnur, bupati, dan wali kota yang masih menganggap tidak akan terjamah KPK karena lokasi pemerintahannya jauh dari KPK.
“Kepala daerah yang merasa kami tidak bisa atau abai terhadap kejadian-kejadian di daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahan,” ujarnya.
Menurutnya, masih ada kepala daerah, khususnya yang pemerintahannya di pelosok sana, mungkin merasa KPK hanya ada di Jakarta, sehingga seolah-olah KPK tidak mungkin akan sampai terjun ke daerahnya.
“Tetapi kan enggak [demikian]. Sebelum ini, KPK pernah melakukan OTT di Kabupaten Banggai Laut, itu di Sulawesi Tengah, itu jauh, untuk mencapai daerah itu harus lewat kapal 12 jam atau berapa jam,” katanya.
Menurutnya, KPK mempunyai berbagai cara agar bisa memantau para kepala daerah dan penyelenggara negara yang jauh atau berada di pelosok negeri, salah satunya melibatkan berbagai pihak, khususnya masyarakat.
“Karena informasi masyarakat seperti itu, ada kegelisahan dari masyarakat dan pejabat atau ASN yang bekerja di sana, sudah tidak tahan lagi dengan prilaku kepala daerahnya, kita turun juga lalukan tangkap tangan,” ujarnya.
Ia menyampaikan, dengan seringnya KPK melakukan OTT terhadap kepala daerah dan penyelenggara negara yang posisinya jauh di pelosok negeri, itu memberikan pesan bahwa KPK bisa menjangkau dan menindak.
“Ini makin lama kan orang makin tahu bagimana KPK itu melakukan tangkap tangan,” ujarnya.
Ia mengungkapkan, peran pelaku dan pihak lainnya yang diduga terlibat dan belum tersentuh, juga akan terungkap, salah satunya di persidangan sehingga pasti akan ditindaklanjuti oleh KPK.
Dengan adanya OTT dan penindakan oleh KPK tersebut, lanjut dia, kepala daerah dan penyelenggara negara harus lebih hati-hati dalam mengemban amanahnya agar tidak terjerat kasus hukum.
“Semakin banyak orang yang sangat hati-hati, tadinya orang yang ceroboh kemudian, apalagi orang yang PD karena letak daerahnya jauh dari pusat pemerintahan,” ujarnya.
Sebelumnya, KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Bupati Kepulauan Meranti, Muhammad Adil. Dalam OTT berlangsung pada Kamis (6/4/2023) di Kabupaten Kepulauan Meranti, Siak, Kota Pekanbaru, dan Jakarta, tersebut KPK mengamankan 28 orang.
KPK kemudian menetapkan Bupati Kepulauan Meranti, Muhammad Adil, sebagai tersangka korupsi bersama Kepala SKPD, Kepala Cabang PT TM, serta orang kepercayaan Muhammad Adil,? Fitria Nengsih (FN); dan Auditor Muda Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Riau, M Fahmi Aressa.
Muhammad Adil diduga menerima setoran dari para kepala SKPD Pemkab Kepulauan Meranti, fee dari PT TM, dan fee sejumlah proyek. Penerimaan itu dilakukan bersama-sama dengan Fitria Nengsih. Selain itu, Muhammad Adil juga diduga menyuap auditor BPK, M Fahmi Aressa (MFA).
Alexander mengungkapkan, bukti dugaan korupsi atau penerimaan uang dari Muhammad Adil ?itu sejumlah Rp26,1 miliar dari berbagai pihak. KPK akan terus mendalami apakah masih ada penerimaan lainnya atau tidak.
“Tentunya hal ini akan ditindaklanjuti dan didalami lebih lanjut oleh tim penyidik, yang terdiri dari kegiatan tangkap tangan, diamankan uang sejumlah Rp1,7 miliar yang terdiri dari Rp1 miliar yang diterima oleh auditor BPK dan selebihnya diterima dari SKPD dari pemotongan uang pengganti maupun pengsisian uang persediaan,” katanya.
Dalam kasus ini, KPK menetapkan tiga orang tersangka, yakni Bupati Kepulauan Meranti, Muhammad Adil; Kepala SKPD Pemkab Kepulauan Meranti, Fitria Nengsih; dan Pemeriksa Muda BPK Perwakilan Riau, M. Fahmi Aressa (MFA).
KPK menyangka Muhammad Adil selaku penerima suap melanggarPasal 12 huruf f atau huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021.
“Selain itu juga, MA sebagai pemberi suap melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP,” katanya.
Kemudian, Fitria Nengsih sebagai ?pemberi suap diduga melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021.
“MFA [M. Fahmi Aressa] sebagai penerima [suap] melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021,” katanya.