Home Gaya Hidup Miskonsepsi CRI Tentukan Terang-Redupnya Lampu

Miskonsepsi CRI Tentukan Terang-Redupnya Lampu

Jakarta, Gatra.com – Product Development Manager in-Lite LED, Gatt Sulistyo Aji, mengatakan, masih terjadi miskonsepsi atau salah mengerti mengenai spesifikasi pencahayan lampu, di antaranya anggapan kian besar watt suatu lampu maka semakin baik serta CRI adalah penentu terang atau redupnya lampu.

“Miskonsepsi di masyarakat bahwa lebih tinggi watt-nya itu berarti lebih baik, jawabannya belum tentu,” kata pria karib disapa Tyo ini dalam acara “The Perfect Lighting Recipe for Your Home” di Jakarta, Kamis malam (6/4).

Menurutnya, efektivitas suatu lampu untuk menghasilkan cahaya yang dibutuhkan itu tergantung dari tingkat efisiensinya antara energi listrik yang dikonsumsi dengan cahaya yang dihasilkan. “Sesungguhnya, semakin besar efisiensinya itu semakin baik,” ujarnya.

Ia menjelaskan, mispersepsi atau kesalahpahaman ini terjadi dalam membedakan antara Color Rendering Indeks (CRI) alias Indeks Rederasi Warna dengan lumen. Masyarakat kadang melihat kualitas lampu dari CRI-nya.

CRI adalah suatu kemampuan suatu lampu menghasilkan suatu cahaya sehingga objek yang terkena cahaya akan terlihat sesuai dengan warna asli atau naturalnya, misalkan warna buah apel sesuai dengan warna aslinya ketika mendapat cahaya dari lampu.

“CRI ini bukan seperti yang dipersepsi terang atau redupnya suatu lampu, itu salah, yang selama ini mungkin kalau masyarakat menilai kalau CRI-nya tinggi maka terang,” ujarnya.

Tyo menjelaskan, yang benar adalah kian tinggi CRI suatu lampu maka cahanyanya membuat warna suatu objek kian natural. Sebaliknya, kian rendah CRI suatu lampu, maka sinarnya membuat suatu objek menjadi pucat.

Lampu dengan CRI tinggi ini dibutuhkan untuk objek atau bidang-bidang pekerjaan yang memerlukan ketelitian warna, contohnya untuk bidang seni, percetakan, fotografi, film atau sinematografi, percetakan, industri tekstil, desain interior, dan stasiun televisi.

“Tapi untuk masyarakat umum, di perumahan CRI yang 80, itu sudah sangat cukup. Sedangkan untuk bidang di atas yang CR-nya 92 ke atas,” katanya.

Adapun Lumen, kata Tyo, yakni besaran cahaya suatu lampu. Jadi terang atau redupnya suatu lampu itu berdasarkan lumen. Semakin terang suatu lampu maka ukuran lumennya semakin besar.

”Di sini ada miskonsepsi, masyarakat menganggap bahwa lampu yang watt-nya besar atau lumennya besar itu semakin baik,” katanya.

Ia lantas membuat suatu contoh perbandingan antara lumen dan efisiensi. Lampu A 10,2 watt dengan lumen (lm) 1010 lm. Sedangkan lampu B 10,9 watt dengan lumen 1035 lm.

“Ini lebih besar lampu b, apakah lampu B itu lebih bagus dari A? Belum tentu. Karena soal lampu itu berdasarkan efisiensinya, yaitu berdasarkan lumen dibagi watt-nya. Artinya, dalam 1 watt yang dikonsumsi suatu lampu harus menghasilkan lumen yang lebih besar,” katanya.

Berdasarkan contoh di atas, maka diketahui luman yang dihasilkan dari lampu A adalah 99,02 lm/watt dan lampu B 94,95 luman/watt. “Ini baru kelihatan bahwa lampu A lebih baik dari lampu B,” katanya.

Tyo menyampaikan, selain hal di atas masih ada beberapa miskonsepsi lainnya di tengah masyarakat, yakni miskonsepsi spesifikasi tipe lampu, yakni perbedaan LED Slim downlight dengan panel, lampu LED Blub dengan Filment, lampu LED Striplight AC dengan DC, dan lampu LED Striplight dengan neon flex.

Untuk meluruskan mikonsepsi itu, lanjut Tyo, pihaknya memberikan edukasi melalui konten informatif dan edukasi menggunakan berbagai medium. Konten tersebut juga terkait tren serta solusi permasalahan pencahayaan yang kerap kali dihadapi para pemilik hunian masa kini.

127