Jakarta, Gatra.com - Hari Nelayan Nasional diperingati pada 6 April setiap tahunnya. Peringatan ini sebagai bentuk apresiasi jasa para nelayan Indonesia dalam upaya pemenuhan kebutuhan protein dan gizi masyarakat.
Dalam momentum Hari Nelayan Nasional tahun 2023 ini Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati menilai bahwa kondisi perlindungan dan pemberdayaan nelayan tradisional masih belum terjadi perubahan signifikan, bahkan cenderung stagnan. Perampasan ruang produksi nelayan baik di darat maupun perairan, kriminalisasi dan marjinalisasi nelayan melalui regulasi, konflik horizontal terkait alat tangkap yang merusak, hingga lahirnya Perppu Cipta Kerja yang sekarang menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023.
“Berbagai dinamika tersebut semakin mengerucutkan pertanyaan tentang realisasi komitmen pemerintah dalam perlindungan dan pemberdayaan nelayan tradisional/kecil dan realisasi dari komitmen tersebut,” katanya di Jakarta, Kamis (6/4).
Baca juga: KKP Klaim Penangkapan Ikan Terukur Berpihak kepada Kesejahteraan Nelayan
Menurut Susan, seharusnya nelayan mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Bahkan, nelayan harusnya bisa menjadi tuan atas darat dan lautnya sendiri.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022 yang diolah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), jumlah nelayan yang beraktivitas di laut pada tahun 2020 sebanyak 2.359.064 jiwa. Angka ini hampir dua kali lipat jumlah nelayan yang terdata pada data kependudukan Kemendagri berbasis E-KTP di tahun yang sama yaitu sejumlah 1.360.263 jiwa. Sedangkan nelayan yang sudah terdaftar Kartu Pelaku Usaha Bidang Kelautan dan Perikanan (Kusuka) pada tahun 2022 tercatat 1.563.433 jiwa.
“Jadi jika dilihat menggunakan data KKP pada tahun 2022, kurang lebih 700.000 jiwa nelayan sesuai data di tahun 2020 belum difasilitasi sebagai pelaku usaha perikanan,” ucapnya.
Baca juga: KKP Berikan Izin Pemanfaatan Ruang Laut untuk PT Timah Tbk
Susan menilai, perbedaan jumlah nelayan yang cukup besar antara data Kemendagri dengan data KKP, memperlihatkan tak ada angka pasti jumlah nelayan di Indonesia. Selain itu, kondisi ini juga menunjukkan buruknya sistem pendataan nelayan baik oleh Kemendagri maupun KKP sendiri.
“Dengan ketidakjelasan data nelayan di Indonesia kita perlu mempertanyakan bagaimana dan untuk siapa sesungguhnya progam pembangunan kelautan dan perikanan yang dikemas sebagai blue economy?” ujarnya.
Data-data nelayan itu juga disebut Susan kerap tidak mengakomodir pengakuan perempuan sebagai nelayan. KIARA mencatat beberapa kasus di berbagai daerah, di mana ketika perempuan berusaha mengubah data pekerjaannya sebagai nelayan pada identitas kependudukan mengalami hambatan dan terkadang dipersulit.
“Berbagai hal tentang nelayan dan perempuan nelayan ini seharunya menjadi perhatian khusus untuk segera berbalik dan menjalankan mandat konstitusi dalam melindungi dan memberdayakan nelayan sebagai pahlawan protein pangan laut bangsa,” tegasnya.